Kamis, 16 Juli 2009

Dimanakah Letak Kata Semangat Terselip???

“Semangat ya…”
“Loe gak boleh melempem, semangat terus bro”
“Semangat terus tiada henti sis”
“Kamu pasti bisa… semangat”


Kumpulan kata di atas mungkin akan secara reflek keluar dari mulut kita, kala melihat ataupun mulai membaca gelagat kontraproduktif atau kemenurunan rasa dari lawan interaksi kita. Walaupun demikian, bukan berarti kata tersebut menjadi tabu bila didengungkan untuk diri sendiri. Tidak sama sekali. Bahkan semestinya, kata ini sudah harus masuk dalam perbendaharaan khusus dalam perjalanan hidup kita. Perjalanan hidup yang penuh dengan gelombang fenomena. Kadang tenang, kadang pasang, kadang mengakibatkan rob, bahkan sampai timbul tsunami segala. Atau bila ingin dianalogikan dengan grafik bursa saham, maka fenomena hidup kita bisa tiba-tiba melambung naik, stag, atau bahkan tiba-tiba menukik turun. Fluktuatif. Nah, pada posisi turun inilah lebih dibutuhkan doping lebih agar tidak menjadikan diri kita drop, koma, bahkan mati. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, darimanakah sejatinya doping itu kita dapat dan seberapabesarkah porsi yang sesuai untuk menghidupkan kembali diri kita dari mati suri tersebut ???

Sudah disinggung sebelumnya, bahwa semangat termasuk kategori kata murahan. Dalam artian, tanpa perlu memeras otak ataupun analisa mendalam, kata itu sudah mampu muncrat ke permukaan bibir kita dengan sendirinya. Bila begini kejadiannya, tidak salah rasanya bila dikatakan bahwa kata semangat sudah menganut paham coca cola dan paham rexona. “Siapa saja, kapan saja, dan dimana saja” plus “setia setiap saat”. Dengan demikian, apakah hal tersebut bisa menjadikan kata semangat kehilangan taringnya??? Apakah lumrahisasi tersebut bisa memudarkan bahkan menghilangkan energi positifnya sama sekali???

Orang berani membayar mahal hanya untuk sepotong kata semangat. Orang tidak kecut untuk memelototi lembaran tulisan hanya untuk sebongkah kata semangat. Orangpun tidak malu untuk membocorkan kegundahannya, lagi-lagi hanya untuk mendapatkan banjuran kata semangat. Orangpun tidak segan untuk teriak dan mengepalkan tangan ke udara, hanya untuk mengibarkan semangat. Subhanallah… begitu besarkah arti dari kata yang terdiri dari 8 huruf ini ??? Jika sebegitu besar artinya, maka dimanakah semestinya kita menyelipkan kata ini dalam diri kita???

Semua paragraf di atas berujung dengan beberapa penggal pertanyaan tanpa menyimpulkan sebuah jawab. Kalau begitu, kiranya hanya satu kata yang bisa menyelesaikan itu semua. Memberikan paragraf kelanjutannya, itu saja… 


Jangan Mau Jadi Pengemis Semangat
Setiap diri kita telah dipersenjatai dengan alarm dan software antivirus yang khas dari Sang Maha Kuasa. Implikasi dari hal ini adalah (yang masih tercatat sebagai manusia normal) pasti mampu merasakan bila timbul ketidakberesan dalam diri kita. Cuma sayangnya, karena masih tercatat manusia normal tadi itulah, membuat kita sering terjebak untuk selalu menganggap segala ketidakberesan kecil yang terjadi pada diri kita menjadi suatu hal yang wajar. Baru ngeh untuk ulir kemudi, jika sudah ada reaksi dari luar. Lalu, apakah harus demikian??? Haruskah kita menanti uluran tangan orang terlebih dahulu baru berubah??? Haruskah orang menyaksikan diri kita jatuh terlebih dahulu, baru kita bisa bangun??? Jawabannya tidak. Sepotong kata itu harus keluar dari diri kita sendiri, jikapun ada tangan orang lain di sana itupun hanya sekedar untuk membantu membuka celahnya saja. Tidak lebih. Kemudi ada di tangan kita. Dorongan dari luar tidak akan merubah kita, kalau kita malah asyik menonton tingkah polah mereka dalam mendorong kita. Lagipula, tidak malukah kita mengembalikan asetNya dengan banyak lumuran negatif??? Jadi pada intinya, semangat itu mesti lahir dan keluar dari diri kita sendiri. Jikapun perlu campur tangan orang lain di dalamnya, jadikanlah mereka sebagai katalisator yang mempercepat proses reaksinya. Toh, kita bukanlah bom atom yang butuh tangan orang lain untuk menarik pelatuknya baru bisa meledak. Tidak mudah memang untuk mewujudkan ini semua, namun bila meresapi kata-kata dari Ahmad Zairofi berikut ini kita akan menemukan sebuah telaga baru untuk mengindahkan sebuah perubahan “memang proses menjadi baik itu panjang, tetapi keputusan untuk memulai menjadi baik hanya memerlukan waktu beberapa saat.” Selain itu, sayang rasanya kalau kita merelakan diri kita untuk menjadi pengemis semangat…


Tidak Pernah Merugi Bertransaksi dengan Semangat
Semangat berbanding lurus dengan kerapuhan jiwa. Semakin banyak jiwa yang rapuh, semakin tenar saja kata ini untuk dikumandangkan. Walaupun kata semangat yang keluar tidak sama persis, tapi percaya atau tidak, varian yang keluar itupun akan membumbungkan makna yang tidak jauh berbeda. Berubah, titik! Jadi, semangat sampai kapanpun tidak akan pernah kehilangan taringnya dan tidak akan pernah tersurutkan maknanya, walaupun sudah terjadi lumrahisasi di sana. Apalagi dalam pentrasferan kata-katanya, kita tempelkan pula rasa ikhlas, cinta, dan sayang. Hanya orang yang mau merugi sajalah, yang mau menelantarkan partikel semangat. Paling nggak, tidak pernah ada catatan merugi bagi mereka yang bertransaksi dengan semangat. Semangat… semangat… semangat… 


Semangat Bukanlah Putri Tidur
Hidup adalah sebuah perjalanan besar menuju halte hakiki. Halte tempat segala ceceran cerita yang tumpah di perjalanan dimintai pertanggungjawabannya. Halte tempat semua orang menunggu nilai dari gambar yang telah berhasil di coret selama dalam perjalanan. Halte dimana ketika hanya kaki dan tangan yang berbicara. Lalu, apa hubungannya dengan letak semangat??? Semangat adalah bahan bakar yang membuat kita mau terus menderukan diri kita sampai garis hidup kita diputus. Semangatlah yang membantu kita memagari, kala diri ini mulai melemah ataupun berhenti dari aktivitas yang biasa kita lakukan. Semangatlah yang menyirami kita, kala niat ini sudah semakin layu untuk diwujudkan. Semangatlah yang bisa memompa hidran diri, kala kita sudah merasai kegersangan dalam langkah. Dan semua itu adanya di dalam hati. Dalam hati kita sendiri. Namun di atas itu semua, semangat hanya sekedar dan berhenti sampai hanya menjadi putri tidur di hati, bila tidak ada usaha untuk membangunkannya dalam langkah yang terjejak. Intinya semangat butuh realisasi, bukan verbalisasi…

Akhirnya, setiap orang memiliki cara yang berbeda dalam memanggil dan mempergauli semangat. Tidak ada konsensus yang melegal-formalkannya. Karena apapun cara yang digunakan pasti menghasilkan kata yang sama BERUBAH. Namun, yang ingin disoroti di paragraf akhir ini adalah paling nggak, ada 2 hal yang membuat semangat kita menurun dan membuat kita merasa gersang dalam melakukan sesuatu hal, yaitu: sudah semakin menipisnya interaksi kita sebagai hamba kepadaNya dan semakin jarangnya kita bersosialisasi dengan orang-orang yang berperangai baik.

“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap” 
(Qs. Al Insyiraah:7-8)



Wallahu’alam



*kala melihat, membaca, dan mendengar begitu banyak kata semangat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dilarang keras berkomentar yang mengandung unsur saru dan sarkas