Menggantungkan Spidol : Jiwa Mengenkripsi Saya Terlalu Besar

Semakin membaca buku yang berisi tentang salah satu sosok guru, semakin ingin cepat-cepat saja rasanya saya untuk menggantungkan spidol ini. Secara saya gak ada bener-benernya dan gak ada pantes-pantesnya untuk masuk dalam korps dan menyandang predikat tersebut. Pokoknya jauuuuuuuuuuuuuhhhhhh bangeeeeeeetttttssss dari sosok seorang guru.

Ini beberapa bukti bahwa saya bukan guru yang baik...

"bu... tau gak, saya tuh belajar gila dari ibu..." (nah loe )

"kalo ama ibu mah serasa gak kuliah, malah kayak bimbel waktu SMA"

"Lus... kelasmu manis ya... secara ada yang makan di kelas" (plus mondar/i juga padahal...hehe ==> komentar teman saat bertandang ke kelas saya)

Itu yang berupa dialog dan yang ini yang berupa perilaku :

Suka sms2an (ngechat2an juga) sama mereka, yang isinya mulai dari maen tebak2an sampai dengan berbalas puisi, suka ikut nimbrung buat nongkrong sama mereka (baik secara suka rela atau dipanggil, makanya temen2 saya di kampus suka pada teriak kalo jalan sama saya, berhubung sering berhenti, minimal untuk sekedar cipika/i), kalo lagi jalan bareng temen2 di kelas dan beliau papasan dengan temennya, saya memperkenalkan diri dengan "lussy, temannya...". Jadi inget waktu penmaba kemarin... alhamdulillah nggak ada yang ngeh sama status fungsional saya(name tag saya balik... padahal mah emang gak tenar aja... hehehe Sampai ada mahasiswa jurusan lain dari kampus D yang minta tukeran sepatu sama saya, karena sepatu dia jebol...) , suka poto2 di kelas, suka nyetel2 lagu, dan suka jadi sedikit nyanyi kalo kata-kata yang saya utarakan ternyata sama dengan lirik lagu (contoh : kata dahsyat ==> dahsyatnya... bila dibandingkan dengan senyumanmu... hehehe)

Efek positif dari itu semua adalah terjadi panggilan yang berbeda pada saya :

Bu, kakak, mbak, mbakyu, mpok, bunda, tante, dll (untuk semua panggilan2 ini, saya pernah sampai ditegur untuk hal ini sama seniorita ... padahal untuk hal yang lain juga sih... hehe... *yang menurut saya gak prinsip, ya jadi dicuekin aja )

Saya mencoretkan semua ini di sini, bukan untuk memberikan pengaruh buruk. Tidak sama sekali. Saya cuma membuka sedikit lubang untuk bisa diintip dan silahkan dimaknakan sendiri. Dan berikut saya berikan alasan mengapa saya berbuat demikian (karena banyak yang menanyakannya plus mempertanyakannya, bahkan sampai ada sekelompok mahasiswa yang melakukan penelitian/survei berkaitan dengan kelas saya ini "Seberapa humanis kelas bu Lussy"... harusnya bukan cuma humanis nih yang diteliti, tapi hucantik, huimut, hueksss... hehehe) :

1. Saya mencoba menghadirkan realitas kehidupan di kelas. Saya berpegang bahwa semua hal bisa dimodifikasi [kecuali hukum dasarnya], walaupun jadinya [mungkin] bedaaaaa beneeeeeeer sama kebanyakan dan rada2 aneh malahan... hehe. Mainkanlah celah yang masih bisa dibuat main, dengan catatan tidak keluar dari rel ==> Ats Tsawabit wal mutaghayyirat (padahal belum selesai bacanya nih... *maap ye* beginilah nasib orang yang suka baca buku secara simultan )
   
2. Secara struktur fungsional, sekarang saya [memang] sedikit lebih dari kalian, tapi secara intelektual dan kemanusiaan kita sama (tidak ada orang yang tahu semuanya dan tidak ada orang yang tidak tahu sama sekali). Dan suatu saat, bisa jadi saya menjadi bawahan kalian. Di sini posisi kita egaliter. Lagipula siapa tahu aja, nanti kalian jadi murobbi/ah saya... hehehe
   
3. Saya menyandang profesi hanya saat di kelas, kedinasan, dan yang terkait lainnya. Selebihnya SAYA CUMA LUSSY. Jadi sah2 aja, kalo kalian manggil "LUSSY" atau lainnya di luar kelas. Karena saya khawatir mabuk dengan predikat yang tersandang, biarlah saya hadir di depan kalian dengan "LUSSY" saya. Itu sudah lebih dari cukup menurut saya.

Mungkin kata-kata yang saya coret di awal coretan, adalah kata-kata seorang pengecut yang gak mau berubah ke arah kebaikan. Padahal semakin saya baca deretan yang ada di buku-buku tersebut, semakin hati ini tergetar dan semakin mata ini berair. Betapa saya jaaaaaaaaaaauuuuuuuuhhh banget dan gak ada pantas2nya sebagai seorang guru. Saya bukan khairul murobbiah (sebaik-baik guru). Tapi, dibalik itu semua izinkan saya untuk hadir sebagai saya. Saya apa adanya. Saya sebagai Lussy... dan entahlah perlukah saya menggantungkan spidol ini, bila suka muncul rasa kehilangan di akhir semesteran kayak begini... apalagi saat membaca catatan-catatan kecil dari kalian... Subhanallah...


Ini judul-judul buku yang telah saya singgung di awal coretan ini :

1. Episode Cinta Sang Murabbi : Kenangan Bersama KH. Rahmat Abdullah
2. Bercermin di Telaga Cinta Sang Guru
3. Cinta di Rumah Hasan Al Banna

*kayaknya semakin mempertegas dan menyetujui saja akhirnya ungkapan dari seorang teman (hayooo... yang merasa pernah ngungkapin kata-kata berikut tolong angkat tangan temannya ), bahwa jiwa mengenkripsi saya terlalu besar (kira-kira begini intinya, saya lupa redaksional persisnya). Jadi, bawaannya pengen ngaco aja...