.post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

Senin, 11 Juli 2016

Bukan Sekedar Skripsi

Bikin skripsi itu gak ubahnya kayak orang lagi belajar masak. Dimulai dengan bengong karena gak tau sama sekali, bahkan hanya untuk sekedar nyebutin nama bahannya. Kadang bingung karena tahu nama, tapi gak paham cara masaknya. Kadang malah cengengesan sambil garuk2 kepala gak jelas karena terlalu banyak tahu nama dan bahan, tapi masih bimbang mau mulainya dari mana. Tapi toh itu gak kita jadikan alasan buat tuk langsung surut, mengkerut, bahkan langsung mengurut tombol hape buat minta orang lain yang kerjain. Karena kita tahu; sebagus dan seenak apapun buatan orang lain masih jauh lebih keren, nikmat, dan jauh bikin ketagihan makanan yang kita buat sendiri hehehe

Nyatanya, ada 3 hal yang buat kita bertahan tuk mau terus mulai memasak dan bertahan dalam gerahnya suasana dapur; yaitu: niat, tahu cara, dan tahu rasa.

Setiap kita pasti punya niatan yang beda dalam mengarungi bahtera perskripsian ini. Ada yang cuma ngisi waktu luang sambil nunggu wisuda, ada yang ingin tunaikan "dendam" pribadi untuk bisa menaklukkan monster bagi  mahasiswa tingkat akhir hingga menjadi casper; atau sebagai bentuk tunai janji bakti kepada ortu. Apapun itu, ujungnya kita kan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkan.

Ada yang bilang, bikin skripsi dah kayak memasuki perjalanan panjang dalam hutan lebat, gelap, pekat, dan sendirian. Apa yang bisa kita lakukan dengan suasana kayak gitu? Meraba pastinya. Kita hanya tahu cara masuk dan tahu bahwa di ujung sana ada pintu keluarnya. Tapi, kita gak pernah tahu pasti ada rintangan apa di dalamnya. Akan bertubrukan dengan siapa, akan kesandung apa, dan bagaimana akan terantuk. Bagai memasuki labirin. Sampai kadang pusing dan pening sendiri karena sudah merasa jauh berjalan, tapi nyatanya hanya berputar2 di tempat yang sama. Kalau sudah gini, kadang hati dan mata kita menyanyikan lagu yang sama. Lagu kepedihan, keperihan, kesedihan. Ingin marah buat apa. Ingin kesal tapi kepada siapa. Akhirnya cuma air matalah yang bisa membahasakan semua cerita.... 😊

Bahan boleh sama, tapi rasa tak pernah persis serupa. Pasti ada personalisasi di sana. Dengan kata lain, variabel boleh sama, masalah boleh sederhana, tapi rasa yang kita suntikkan didalamnnya lah yang membuatnya terlihat begitu sempurna dan membahana. Karenanya, jangan pernah kecut dengan kesederhanaan ide. Sebab, kitalah yang membuatnya berbeda. Variabel besar, ide kompleks, tapi kita salah meletakkan rasa, malah bumerang yang menimpa. Ya rasa...  rasa ada saat kita berproses mengolahnya. Rasa kesungguhan, rasa kejujuran, rasa pantang menyerah, rasa optimis, sampai dengan rasain aja segala rasa yang terasa hingga nantinya kita tersenyum bangga di ujung cerita. Dimana saat kita mampu menyuguhkan hidangan termanis dengan senyum termanis ke hadapan para "masterchef" sambil berucap " this is it.... bon appetit" 😊

Dan gak terasa tinggal hitungan hari kita kan suguhkan masakan buatan kita itu. Sekarang tinggal; hiaslah semenarik yang dibisa, kemaslah seunyu yang dimampu, dan berdoalah sekuat yang didapat. Rapikan segala peralatan karena waktu usaha telah hampir usai. Tinggal pertebal tawakkal. Manfaatkan detik2 terakhir tuk buktikan kita mampu dan bisa.

Sebab, proses adalah satu hal yang harus diseriusi, meski hasil merupakan hal lain yang mesti ditawakkali. Simpelnya, sama aja dengan yang pdkt-in mulu siapa, eh gataunya nikahnya ama siapa. Hehehe.... ya  semuanya sudah selesai di langit kawan. Kontra diantaranya adalah ruang baru untuk belajar...

Akhirnya, selamat mengemasi dan menghiasi apa yang telah dibuat. Dan selamat menyajikan makanan ternikmat dan termantabs yang telah berhasil di buat. Tengoklah sedikit ke belakang, betapa hebatnya kalian telah mampu lampaui segala aral untuk sampai titik ini. Tersenyumlah sebagai hadiah atas segala lelah yang telah tercurah.... bismillah.... 😊

#skripsyik #GoesToSeptemberCeria2016

UK, 110716

lussysf

Jumat, 10 Juni 2016

Diantara terbukti dan tidak terbukti

Apa yang membuat hidup itu indah dan tidak membosankan? Yops benar, karena apa yang kita pikirkan, asumsikan, dan rencanakan tak melulu mewujud serupa sewarna. Selalu saja ada guratan dari taksiran kita yang tak terbukti. Ada saja estimasi kita yang bertekuk lutut di bawah kaki realita.

Rasa apa yang muncul setelah itu? Sedih, iya. Kecewa, pasti. Gondok, banget. Pengen maki2, mungkin. Kekacauan emosi sesaat, ya sesaat. Tidak melulu dan terus. Kenapa? Karena sesungguhnya dari situ kan terbuka pintu pembelajaran baru. Pintu tuk reka rencana, gerbang tuk susun goresan asumsi selanjutnya. Jalan tuk olah "sampah" jadi hikmah. Lagipula apa asyiknya jika yang terjadi selalu sama dengan yang dipikirkan? Tidak ada surprise. Minim kejut. Nir-greget. Ujung2nya yang ada malah malas eksplor, karena toh sudah tahu dan sudah pasti hasil akhirnya....

Pun dengan penelitian yang merupakan salah satu cara yang digunakan manusia tuk menguak dan menyelesaikan misteri hidupnya. Bagaimana manusia belajar tuk menjelaskan, memprediksi, dan mengontrol berbagai fenomena yang ada. Bagaimana manusia belajar bergelut diantara sejumlah barang bukti dan alat bukti. Bagaimana manusia belajar berlapang dada di antara kata terbukti dan tidak terbukti. Bagaimana manusia belajar membahasakan hasil yang berkebalikan dengan sangkaan pikirnya. Bagaimana.... bukan apa...

Namun, justru itulah yang membuat ilmu terus bergerak, selalu ingin diulik, dan penasaran untuk terus digali. Sebab, di ujung hasil selalu sisakan misteri "kenapa begitu?". Satu fenomena tak berdiri sendiri, banyak kait dengan fenomena lainnya.

Di dalam rahasia selalu menyisakan rahasia, itu yang membuat segala peristiwa memiliki romansa dan berwarna... Karenanya, jujur dalam berproses adalah jadi intinya. Baik dalam niatan dan benar dalam tahapan. Karena hasil selalu mengait dengan jutaan tentakel sebab, dan tangan kita tak kan mampu mengontrol semua sebab itu. Bahkan hanya sekedar tuk mengontrol goresan tinta responden di atas kertas instrumen.

Itulah mengapa semakin berilmu seseorang, akan mengantarkan dirinya semakin dekat dengan Tuhannya. Ini dibuktikan dengan tidak sedikit ilmuwan yang kembali ke fitrahnya setelah bergelut dengan penelitiannya.... 😊

UK, 100616_12.35am

lussysf

Sabtu, 21 Mei 2016

50 : 50

Ini bicara tentang probabilitas atau kemungkinan....

Ada yang bilang dunia itu gak adil. Tidak sedikit juga yang ngomong gak punya pilihan hidup, hanya menjalani takdir. Memang begitukah???

Setiap kita memiliki kemampuan yang gak sama. Kuat di satu sisi, tapi kurang di sisi yang lain. Meninggi di satu spot, tapi melemah di spot yang lain. Dengan itu, sebenarnya bukanlah hal yang aneh kala kita seperti diadu dalam bidang yang tak datar. Kadang kita bertarung dengan yang lebih dari kita. Kadang kita beradu dengan yang lebih rendah dari kita. Tidak jarang pula kita berhadap2an dengan yang sama dengan kita. Toh nyatanya, adil bukan berarti sama persiskan???

Saat beradu dengan yang lebih rendah, kita langsung memandangnya sebelah mata. Ketika dengan yang lebih tinggi kita langsung mengkeret ditimpa bayangannya, bahkan jauh sebelum bertanding. Dan kala bertemu dengan yang sama, barulah merasa memiliki kesempatan hasil yang seirama. Apakah mesti seperti itu? Apakah hitungan kita sebagai manusia mutlak hasilnya?

Nyatanya hitungan manusia tidak ada yang deterministik atau pasti. Dengan demikian, selalu ada potensi untuk berkebalikan hasil. Yang secara logika akan menang, ternyata saat pertarungan ada faktor X hingga membuatnya kalah. Di atas kertas lemah, malah jadi kuat karena adanya faktor Y yang seketika tersemat. Jadi, apapun dan siapapun yang ada di hadapan kita, semua serba mungkin keberakhiran berhasilnya, 50:50

Di sanalah kita memiliki pilihan, mau seperti apa dan berada dimana. Jadi rasanya aneh kalau kita melimpahkan kesalahan pada takdir, hanya karena kita malas memilih dengan benar. Atau takut menerima kenyataan atas sebuah konsekuensi pilihan. Padahal, itu semua lebih karena kesalahan cara kita dalam menjemput takdir. Dan juga karena ingin selalu berada di nyaman zone, ngarep zone, atau melas zone...

Lalu gimana dong?

Bila hasil = usaha + doa, maka memaksimalkan usaha dan mengoptimalkan doa adalah dalam rangka memperbesar probabilitas hasil. Semakin tinggi usaha dan doa, diharapkan semakin tinggi pula hasilnya. Lalu gimana bila malah menghasilkan sebaliknya?

Ingat, tidak ada yang deterministik di dunia ini kecuali kematian. Disanalah kekuatan tawakkal harus dilarungkan secara total, karena diantara 99% usaha dan doa kita, masih ada 1% lagi dan itu dapat menjungkirbalikkan semuanya. Itu adalah kekuatan Sang Maha Berkendak, ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala. Itu mengapa jangan cemasi dan urusi hasil, karena sesungguhnya semua sudah selesai di langit. Pena sudah diangkat dan lembaran-lembaranpun telah mengering. Sebab, urusan kita adalah berproses. Memaksimalkan lebar lapangan yang ada dalam rangka memperbesar probabilitas hasil. Pastinya, dengan terus berusaha secara maksimal dan berdoa secara optimal... ☺ #NoteToMySelf

UK, 210516 - malam nisfu Sya'ban: 9.43pm

lussysf