Nekad. Mungkin kata itu yang bisa menjadi benang merah untuk mengkonlusikan perjalanan hidup saya. Tidak pernah saya mengira akan begini kejadiannya, namun bukan berarti saya tidak pernah mengangankan dan mengujarkannya. Minimal dalam selorohan-selorohan nakal saya impian itu pernah melompat keluar.
Saya mencatatkan sedikit perjalanan ini bukan untuk me-megalomania-kan diri, karena saya memang tidak pantas untuk itu. Saya belum menorehkan apa-apa dibandingkan dengan yang lain. Bisa dikatakan titik raih saya saat ini bagai sebutir debu di gurun pasir. Masih nol besar. Tulisan ini sempat tercekat di tangan. Banyak pertimbangan sebelum menuliskannya. Tapi didorong dengan rasa nekad dan sebagai salah satu bentuk rasa syukur dan cerminan diri, akhirnya seperti yang anda lihat sekarang, tulisan inipun bisa mengudara juga.
Ya, tulisan ini memang sengaja saya buat dan dedikasikan untuk semua orang yang telah beririsan hidup dengan saya. Berkat mereka saya bisa seperti ini. Segala hal yang menempel di diri saya adalah hasil kerja dan kenekadan kolektif. Bahkan mungkin saja prosentase kerja saya sebenarnya hanyalah secuil bila dibandingkan peran serta orang tua, keluarga, dan orang-orang sekitar saya. Di balik itu semua, saya yakin doa ibu adalah yang menggenapkannya. Seorang ibu yang tiada lelah mau menegakkan tangannya ke langit dan tiada bosannya merubuhkan badannya di kala malam, tiada lain hanya untuk mendoakan anak-anaknya. Terima kasih sangat Meh....
Setelah melihat saya seperti ini, banyak yang mengira saya berasal dari orang berada, punya koneksi pejabat, sampai ada yang bilang, saya telah mengeluarkan banyak uang untuk meraih posisi ini. Wajar saja mereka berpendapat demikian, karena kala itu saya merupakan anak kemarin sore. Baru saja lulus 2 bulan, tapi mampu meminggirkan mereka yang segala-galanya di atas saya. Saat itu atmosfer panas sepanas-panasnya. Tidak ada yang mau membalas senyum apalagi sapaan saya. Panas. Sempat drop. Lagi-lagi berkat dorongan dari mameh, mas uguck, dan mba yulay, saya bisa lewati itu semua. Kala itu, rasanya cuma kata-kata inilah yang sering meluncur dari lisan saya: "Ya ALLAH, Kaulah Maha Pembolak-balik hati, maka balikanlah hati mereka dan berikanlah mereka yang terbaik" Selain itu, saya terus kuatkan dalam hati, kalau saya tidak salah kenapa harus mengalah. Dan memang memo ALLAH bisa membombardirkan segalanya. Tidak hanya berhenti sampai itu, hampir 3 tahun saya berada di basecamp yang tidak menetap. nomaden. Diantara tahun itu, boleh percaya atau tidak saya harus mengalami kondisi yang tidak bisa terdeteksi secara medis. Saya tiba-tiba tidak bisa jalan, sampai saya harus mengesot bila ingin berwudhu dan aktivitas lainnya. Saya tiba-tiba tidak bisa bersuara, padahal saya sepertinya sudah teriak sekencang-kencangnya. Namun, ternyata ALLAH menunjukkan obatnya dengan cara yang indah. Semua itu terkelarkan hanya dengan bacaan Quran saja. Tapi itu tak berlangsung lama, karena hal yang saya sebutkan tadi kembali berulang. Badai itu terus merangsek masuk ke tubuh muda saya, namun saya bersyukur, karena hal tersebut telah menjadi titik balik kehidupan saya. Bila orang sering bertanya mengapa saya cuek, terlihat santai aja baik lagi banyak kerjaan atau nggak, dan terkesan selalu menyikapi sebuah kejadian dari perspektif bercandaan. Inilah salah satu jawabannya.Pengalaman hidup itulah yang membentuk saya demikian. Mengenai hal tersebut, sampai ada seorang teman pernah bertanya "sekarang lagi sibuk apa mba???" terus saya jawab dengan "gak sibuk kok, buktinya saya masih bisa smsan, jalan-jalan, duduk-duduk, ngobrol, tidur, makan, minum tuh. Kalo sibuk pasti saya gak sempat melakukan itu semua... hehehe". Setelahnya, beliau suka bilang gini "lagi gak sibuk ya mba??? ya iyalah, kalo sibuk bukan mbak lussy gitu loh... hehe" -- "yoyoy" 
Yah, itulah sedikit cerita sebelum saya menapaki jalan ini, sampai detik ini. Bila kilas balik ke belakang, banyak lagi orang-orang yang membantu saya. Namun, keterbatasan otak sayalah membuat orang-orang hebat tersebut seperti tersaput namanya dari ingatan saya. Bukan karena tidak mempunyai rasa terima kasih dan menafikkan jasa-jasa mereka, tapi ini murni keterbatasan memori saya dalam menyimpan segala cerita.
Dan yang akan saya ceritakan di sini adalah mulai dari SMA ke atas saja, karena pada tahapan itulah cerita-cerita itu masih menyangkut manis di otak saya. Satu yang saya ingat saat masa SD, sampai sekitar kelas 4 rumah saya masih menggunakan lampu minyak tanah kala di samping kanan dan kiri rumah saya sudah berlistrik ria. Jadi, jelaga adalah teman yang sering mengakrabi saya dikala belajar ataupun tidak.
Saya bukanlah orang yang terhitung pandai. Jadi, bilapun saya mendapat nilai yang dikatakan orang-orang bagus, itu merupakan hasil dari memodifikasi lingkungan. Dalam artian, saya harus sering menyandera orang-orang pandai plus catatannya dari kelas manapun. Bila itu tidak cukup juga, saya harus rela berlama-lama di toko buku hanya untuk mencatat hal yang harus diketahui lebih. Dan saya mesti mencatat dalam kertas-kertas kecil bila ingin ulangan, bukan untuk mencontek. Tapi itulah kebiasaan saya, karena saya paling malas bawa buku (apapun itu bentuknya) kalau lagi ujian.... hehehe. Ini mesti saya lakukan, karena saat itu tidak mungkin saya menambahkan kompetensi saya dengan mengikuti les. Dan memang tidak ada satupun les pernah saya ikuti, kecuali komputer. Itu juga dipaksakan karena butuh sertifikatnya sebagai salah satu syarat kelulusan.
Dalam masalah jajanpun, saya tidak lepas dari bantuan orang lain. Yah, bila mau dirata-ratakan hampir tiap hari saya tidak mendapatkan uang saku dan sayapun tidak berani untuk memintanya. Kondisi finansial memang tidak memungkinkan untuk itu. Bilapun ada uang, paling untuk beli kertas ulangan atau buku. Pembelian buku inipun sengaja dilakukan. Ini salah satu kebiasaan saya juga, mencari buku yang mudah dimengerti untuk mendampingi buku pinjaman dari sekolah. Kenangan yang tak terlupakan juga waktu SMA adalah, saya pernah mengajukan program magang yang saat itu pendaftarannya di balai kota.
Singkat cerita sampailah saya di bangku kuliah. Dengan modal nekad saya memberanikan diri ikut UMPTN. Nekad karena yang ada di tangan cuma cukup untuk bayar pendaftaran dan misalnya lulus belum tau uangnya dari mana. Karenanya, bila kebanyakan orang memilih perguruan tinggi dan jurusan karena suka tapi saya tidak. Saya memilih dengan pertimbangan, perguruan tinggi mana yang bisa saya tempuh dengan jalan kaki. Kalau urusan tidak suka, toh semua manusia dibekali kemampuan adaptasi. Sebuah pemikiran sederhana saya kala itu.
Saat diterima, bukan cuma air mata yang keluar tapi juga kebingungan. Ya karena itu tadi, uangnya tidak ada. hehehe... Akhirnya, pinjamlah sana-sini. Setelah uang di tangan, saya urus semua pendaftaran sendiri dan ini dah saya lakukan sejak pertama saya menginjakkan untuk pertama kalinya di SMA. Saya memang diajarkan untuk mandiri dan mengerjakan tanpa bantuan orang lain apa yang bisa dilakukan sendiri. Dan ini jadi masalah juga sekarang, karena saya jadi bingung kalau mau minta tolong OB, contohnya.
Singkat paragraf, cerita di kuliah tidak beda dengan masa SMA. Cuma bedanya di kuliah saya diberi uang saku, 20 ribu sebulan. Alhamdulillah, untuk masa krismon
. Untuk mengakali itu semua saya harus meminjam buku dari kakak tingkat. Jadi tiap semester kerjaannya balikin buku dan pinjam lagi doang. Selebihnya catat mencatat saja kerjaannya. Dan boleh percaya atau tidak, saya kalau kuliah tuh cuma berbekal satu kertas, itu juga bekas undangan doang. Lumayanlah itung-itung manfaatin lebar lapangan. hehehe. Sandra menyandra temanpun masih saya lakukan di sini. Berhubung buku pinjaman semua, praktis semasa kuliah saya tidak punya buku satupun dan ini baru ngeh pas saya mau lulus. Akhirnya saya bela-belain beli satu buku, dengan alasan masa kuliah kagak punya buku satupun juga... Emang dasar ya si lussy...
Dunia perjajanan di kampuspun hampir luput dari jamahan saya. Kalaupun sampai jajan itu dipaksakan, dan seudahnya agak bengong dan menyesal. Dan efeknya, pas ditanya teman kantin mana yang makanannya enak saya jadi bingung dan respons beliau yang keluar adalah "masa kuliah di sini gak tau kantin mana yang makanannya enak"
Whuaah... kalau diceritain masih panjang banget deh. Setelah menapaki ini semua saya bersyukur karenanya, paling nggak ada bahan ceritaanlah buat anak-anak saya kelak. Kalau suami saya kelak??? ya baca aja di sini... hehehe
Dan pastinya, apa yang telah saya jalani ini bukanlah apa-apa, karena saya memang bukan siapa-siapa. Terakhir, jangan marah ya buat teman-teman yang suka saya giniin (walau dalam bercandaan) kalau lagi pada ngeluh "udah, jangan kayak orang susah gitu ah..."
Terima kasih sangat dan tak terhingga buat: Mamehku (ibu), Mas Uguck, Mba Yulay, Pakde Giyadi dan keluarga, Mas Tono dan keluarga, Pakde Margi dan keluarga, Mas Sisun, Bu Suwandi, Mba Wiwied, Ulfa, Dina, Nani, Airin, Dini, Dian, Fenty, Diah, Tia, Rohis 31 (yang mau nerima anak bandel seperti saya), Tuti, Mba Nurul, Mas Taufik, Kak Sofyan, Kak Nurhadi, Kak Muhadi, Mas Kahfi, Kak Sito, Indah, Mba Lala, Bu Said, Angga, Ipeh, Tutut, Julia, Nurhayati, BEMJ TP (yang mau nampung anak dodol seperti saya), komunitas "mingguan" yang terus menguatkan saat saya tidak bisa bersuara dan tidak bisa berjalan, orang-orang yang tidak sengaja mendzohlimi... dan semua orang yang telah mengisi perjalanan hidup saya. Makasih sangat untuk semua jasa dan doa yang telah kalian berikan untuk saya, baik secara terucap ataupun diam. Dan tak pernah malu saya lantunkan berulang-ulang bahwa apa yang melekat di diri saya ini adalah hasil kerja kolektif.
Tak lupa dan syukur kupanjatkan setinggi-tingginya untukmu Ya Rabb. Terima kasih untuk semua skenario dan kado-kado pembelajaran dariMu. Maka, nikmatMu manakah yang bisa kudustakan????
*judul minjem sinetron cinta fitri dikit
TP, angkatan tahun berapa, Mba??
BalasHapusangkatan 98, kamu juga kah???
BalasHapusTP UNJ yah, mba?? Saya angkatan 05...
BalasHapusIya sepertinya, hehe...
BalasHapusSalam kenal na. Oiya, angkatannya Dudi bukan??? Eh... Apa rino ya???