.post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

Rabu, 11 Juni 2008

Guru Berargo Esia

Setuju atau tidak, menurut saya profesi yang ada di Indonesia cuma ada 2, yaitu dokter dan guru. Kenapa saya berpendapat demikian ? Pertama, dua profesi ini yang sering digosipkan di Indonesia, mulai dari status keberadaannya sampai dengan tingkat pendapatannya; Kedua, jika kita bertanya pada bocah tentang cita-citanya, maka yang sering keluar dari mulut2 mungil mereka adalah 2 profesi ini; dan Ketiga, [ekstremnya] kedua profesi ini bertindak layaknya montir yang mampu mereparasi atau memodifikasi manusia : dokter memodifikasi orang lewat pintu kesehatan sedangkan guru memodif perilaku seseorang.

Walaupun kedua profesi ini sering "diiklankan", tetapi sayangnya dan sedihnya status kedudukanya masih tidak egaliter. Karena tidak sedikit orang yang masih mengagung-agungkan profesi dokter, hingga terkesan profesi dokter adalah pencapaian tertinggi dari sebuah cita-cita.

Padahal kalau mau dipikir lebih lanjut setiap profesi memiliki nilai yang sama dan posisinya saling melengkapi. karena yang membedakan tiap profesi dan posisinya adalah bagaimana pandainya si pelaku profesi [secara individual] dalam memberikan value pada profesinya itu.

[sekedar joke] para pencopet saja sekarang sudah menghormati pekerjaannya kok, terbukti sekarang banyak copet yang sudah berpakaian rapi, menggunakan dasi dan membawa tas saat sedang beroperasi.

Kembali kepermasalahan...

Kalau mau dicompare tentang 2 profesi ini berdasarkan alasan-alasan yang saya telah ajukan sebelumnya, pastinya akan merangkaikan kata yang cukup banyak. Namun, untuk mengcompressnya, maka dalam pembahasannya akan saya kerucutkan pada profesi guru saja.

Guru bisa dikatakan profesi yang menuntut sebuah pengorbanan besar [apalagi guru-guru di daerah minim]. Pengorbanan untuk menerima gaji yang tidak sepatutnya, waktu yang tersita untuk menyiapkan serta mengoreksi segala hasil proses pembelajaran [relatif nonstop], dan pengorbanan untuk membesarkan hati, kala banyak orang yang mencerca kinerjanya tanpa melihat terlebih dahulu segala usaha yang telah coba diwujudkan untuk mengakali segala keterbatasan yang ada, dan pengorbanan untuk bisa bermimikri sesuai dengan demand audiens [mungkin ini pengorbanan yang baik diantara yang lain]. 

Seperti yang diungkapkan secara implisit pada paragraf sebelumnya, bahwa salah satu yang bisa mengeluarkan pengorbanan adalah karena adanya tuntutan. Secara tidak tertulis, tapi [secara tidak langsung sudah] menjadi konsensus bersama bahwa seorang guru harus mempunya moral dan akhlak yang baik [harusnya ini bukan hanya dikenakan ke guru saja ya]. Dan hal ini dipertegas lagi dalam UU n0.19 tahun 2005, yang berisi tentang kompetensi yang harus dimiliki guru/pengajar adalah paedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial.

Setelah membaca isi UU tersebut, kesimpulan awal yang mungkin keluar adalah "begitu sempurnanya ya seorang guru". Bagaimana tidak sempurna ??? dalam satu tubuhnya dia harus mempunyai 4 penampang hebat, yaitu : hebat secara keilmuan, hebat secara profesionalitas [mandiri], hebat secara kepribadian, dan hebat secara sosial. Hebat bener euy...

Tapi, lucunya kesempurnaan yang dituntut tidak berbanding lurus dengan pendapatan yang harus mereka terima. Boro-boro buat mengembangkan kompetensi tersebut, buat makan aja masih bingung buat ngebaginya. Saya miris sekali saat pernah dengar guru bicara seperti ini : "saya bangga bisa mengantarkan murid-murid saya sampai perguruan tinggi, namun di sisi lain saya sendiri tidak tau apakah saya mampu mengantarkan anak-anak saya sampai perguruan tinggi". Pernyataan yang membuat hati teriris-iris bukan...

Lalu, apa hubungannya dengan argo esia ??? ....

Beberapa minggu terakhir... periklanan televisi dihebohkan dengan argo SMS esia, [yang katanya] biaya yang harus dibayar sesuai dengan karakter yang dituliskan. Dengan kata lain, semakin banyak karakter yang kita tulis semakin besar biaya yang harus kita keluarkan, dan sebaliknya.

Nah, sekonyong-konyong pikiran iseng dan ngawur saya keluar... coba guru-guru [terutama yang di pedalaman/berfasilitas minim] dibayar sesuai dengan karakter yang telah mereka keluarkan ya. Tapi, setelah dipikir ulang timbullah sebuah permasalahan baru, yaitu kira-kira instrumen atau alat seperti apa yang bisa mengkalkulasi semua omongan guru atau pengajar dalam sebuah aktivitas pembelajaran....

Sampai saat ini saya belum bisa merumuskan dan memformulasikannya... teuing deh pokoknya... tapi yang perlu distabiloin adalah : sebaik-baik instrumen untuk meneracakan itu semua adalah instrumen yang dibuat oleh ALLAH subhanahu wata'ala...

karena...

 

`yJsù ö@yJ÷ètƒ tA$s)÷WÏB >o§sŒ #\øyz ¼çnttƒ ÇÐÈ `tBur ö@yJ÷ètƒ tA$s)÷WÏB ;o§sŒ #vx© ¼çnttƒ ÇÑÈ

 

7.  Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.

8.  Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula

7-8 : Az Zalzalah  

 

*Saya dedikasikan tulisan ini untuk semua guru yang bertebaran di muka bumi ini,  yang dalam keterbatasannya masih mau berkreativitas dan memodif perilaku  manusia dengan ikhlas. 

6 komentar:

  1. Lingkup guru yang dimaksudkan (kalau saya tidak salah) dari tingkat SD sampai SLTA dan bukan dari sekolah bonafid. Salut kepada mereka yang tetap ikhlas menjalankan pekerjaannya walau (mungkin) penghargaan berupa gaji (kurang) sesuai dengan yang diharapkan.

    Pernyataan miris dari seorang guru diatas tentang murid dengan anaknya, sering sekali terjadi, tapi biasanya seorang guru memiliki anak-anak yang cerdas bin pandai, sehingga biasanya anak-anak mereka mendapatkan beasiswa dari sekolahnya, buah tak jauh jatuh dari pohonnya :)

    Setuju untuk UU N0.19 tahun 2005, saya fikir disetiap tempat baik itu institusi maupun organisasi kita semua dituntut untuk menjadi hebat, walau mungkin belum ada UU tertulisnya, tapi siapa sih yang tidak suka bergaul dengan orang berilmu, professional, berkepribadian luhur dan berjiwa sosial? :)

    Instrumen, maksudnya alat takar input berapa output berapa gitu? Kebanyakan orang (termasuk saya) sering melihat output hanya dari satu sisi yaitu gaji, beruntunglah wahai guru, ingatlah hadits riwayat Abu Hurairah, “Apabila seorang anak Adam meninggal, maka akan terputus amalannya kecuali tiga perkara: shadaqoh jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakan kepadanya”, sesungguhnya dia memiliki passive income sejati, masih merasa rugi?

    Jadi, jangan ragu menjadi guru, kita semua bisa, walau tidak harus di sekolah formal, kita bisa menjadi guru di mana saja, dan selalu ingat quran surat Zalzalah ayat 7 dan 8.

    Jazakillah khair tulisannya :)

    BalasHapus
  2. MasyaALLAH... commentnya "menggigit" bangets... saya jadi terharu...

    Iya... gak ada alasan lagi untuk takut jadi guru... karena guru bisa dikatakan bagai peletak batu pertama bagi setiap profesi yang ada di muka bumi.

    Dan gak perlu guru formal... guru informal... sampai guru silat sekalipun gak masalah...

    Deal or nodeal ? ^_^

    BalasHapus
  3. Iya juga yah,,,
    kalo diitung-itung setiap kata yang dikeluarkan Guru adalah rupiah, berarti sudah berapa rupiah yang kumpulkan Guru.

    Tapi kenyataannya nggak demikian, bahkan ada seorang Guru yang kerja 35 tahun tapi statusnya masih GTT alias Guru tidak tetap..
    Gosh,,

    udah gitu yang kerja 35 tahun ini adalah seorang kepala rumah tangga pula,, Hhh

    Padahal untuk bisa menjadi seorang Presiden-pun semua berkat jasa seorang Guru..
    Seharusnya kesejahteraan seorang Guru harus lebih diperhatikan agar bisa melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa yang berkualitas..

    Sabar yaa Guruku,, Setiap perbuatan pasti ada balasannya kok,, tidak sekarang, tapi suatu hari nanti.. AMIN !!!

    BalasHapus
  4. Iya... terkadang hal ini malah menjadi bercandaan saat mau ngajar....

    Gue mau beramal dulu ye.... hehe

    dan pastinya... gak ada suatu hal tersia-sia yang telah dikeluarkan buat kebaikan... semua sudah dikalkulasikan secara indah oleh ALLAH

    BalasHapus

Dilarang keras berkomentar yang mengandung unsur saru dan sarkas