Sebelum membaca tulisan ini, saya mohon tutuplah mata anda sejenak. Setelah itu, cobalah anda ingat-ingat, sampai sejauh ini, apakah pernah dalam sehari anda tidak melakukan aktivitas berbicara ???
Kalau ada yang menjawab ya, bisa saya pastikan [dengan pendekatan praduga bersalah alias nuduh] penyebabnya adalah kalau tidak sedang sariawan, sedang sakit gigi, pasti sedang demo mogok bicara atau demo jahit bibir.
Bertolak dari praduga bersalah tadi, maka bisa disimpulkan secara paksa bahwa pada dasarnya manusia tidak akan pernah berhenti untuk berbicara. Karena berbicara merupakan salah satu bukti bahwa manusia masih ada, masih mau bersosialisasi, masih mau untuk membangun peradaban, dan tentunya masih mau berpikir.
Lho... emangnya kalau berbicara kita pasti mikir ?? kalau yang asal goblek gimana ???
Nah, ini sebenernya episentrum permasalahannya...
Sebelum saya paparkan lebih jauh mengenai hal ini, saya akan membagi aktivitas berbicara ke dalam 2 kelompok besar. Ini saya lakukan agar tidak mengaburkan dan mengacaukan stabilitas kita dalam menganalisis nih wacana.
Dua kelompok besar yang saya maksud adalah berbicara secara umum dan berbicara secara khusus.
Berbicara secara umum, biasanya membicarakan hal yang ringan-ringan saja dan sepertinya kata-kata yang keluar mengalir begitu saja secara reflek, sehingga dalam melakukannya kita seperti tidak melakukan proses berpikir sama sekali [lebih ke have fun go mad aja]. Padahal kalau mau ditelusuri lebih jauh, didalamnya tetap saja ada aktivitas berpikirnya, hanya konsentratnya saja yang rendah. Contohnya, pembicaraan unkondisional alias ngobrol saat kita bertemu dengan teman-teman.
Berbicara secara khusus, saya plotkan ke dalam pembicaraan yang memang dikondisikan, biasanya terdiri dari multiaudiens [maksudnya orangnya lebih dari satu], dan tujuan pembicaraannya lebih terarah pada mensolving problem ataupun menggulirkan rencana-rencana strategis. Pembicaraan seperti ini biasanya terjadi dalam forum diskusi, rapat, sidang, atau sejenisnya.
Dari kedua kelompok berbicara di atas, maka saya lebih tetarik untuk mengacak-acak kelompok yang kedua. Kenapa ??? karena kelompok itu emang lebih bermanfaat digali kebermaknaannya... itu aja sih... hehehe
Berkumpul dan berbicara dengan lebih dari satu kepala memang sulit [tapi bukan berarti tidak bisa dibuat menjadi mudah ya] apalagi dalam nuansa forum diskusi. Dimana setiap orang mempunyai paradigma dan kepentingan yang berbeda. Semua orang mengganggap bahwa pemikirannya adalah yang paling pas, paling bisa menyelesaikan, paling bisa merencanakan, dan paling-paling lainnya. Tidak heran untuk menggolkan itu, seseorang rela debat supir sampai kusir, bahkan gontog-gontogan [yang katanya demi sebuah idealisme] segala. Karena debat kusir tadi, akhirnya tidak sedikit yang tergelincir buat ngomong ngalur ngidul [tanpa dasar] yang penting suaranya bisa lantang terdengar sudah cukup. Setiap orang berbicara berbarengan, dan ujung-ujungnya pemikiran yang menurut mereka hebat hanya terpental ke udara tanpa meresidukan apa-apa. Mubazir banget gak tuh...
Heboh banget gak sih ilustrasi yang saya tuliskan ???
Kenapa bisa terjadi seperti itu ??? selain hal-hal yang telah diungkapkan, ada satu hal yang menurut saya melatarbelakangi ilustrasi di atas, yaitu setiap orang dalam forum tersebut ingin bisa dikatakan vokal oleh komunitasnya. Dan salah satu syarat untuk bisa mendapat wings vokal adalah jika mereka kritis [berarti harus masuk ICU dong ] dan mampu mengkritisi pembicaraan yang sedang bergulir. Tapi sayangnya, sifat kritis itu tidak dibarengi dengan kecerdasan emosional, alih-alih mau mengkritisi... eh malah berantem jadinya...
Padahal Imam Shahid Hasan Al Banna pernah mengatakan dalam salah satu wasiatnya : "Jangan memperbanyak debat dalam setiap urusan bagaimanapun bentuknya, sebab pamer kepandaian dan apa yang dinamakan riya' itu tidak akan mendatangkan kebaikan sama sekali"
Dengan demikian, bisa dikatakan debat atau vokal adalah bukan satu-satunya cara buat menggolkan pendapat dalam sebuah forum diskusi. Jikapun harus vokal, kita harus menarik ulur stabilitas emosi kita. Dengan kata lain, kita harus mampu bermain cantiklah... Kapan kita harus vokal dan kapan harus konsonan...
Bayangkan bila semua yang ada di forum itu vokal [akan berlebih suaranya] ??? dan bayangkan bila semuanya memiliki karakteristik konsonan [tidak menyembulkan arti sama sekali]
Jadi sekarang, tinggal kita sajalah yang pintar-pintar untuk mengorkestrasi vokal dan konsonan tersebut, biar bunyi yang nantinya dikeluarkan lebih dapat berirama dan bernyanyi.
lagipula...
Orang yang bijaksana adalah orang yang tahu kapan dia harus vokal dan kapan dia harus menjadi konsonan...
So, tentukan pilihanmu sekarang juga !!
Aku pilih jd Vokalis aja ya, secara suara ku bagus (hehe gak vokal bgt ya).
BalasHapusTp kita bisa jd Vokal dlm menyuarakan Kebenaran. Dgn cara2 yg Ahsan tentu sj,
yg perlu di update slalu ilmu dan keimanan qt kali ya, klw pun jd vokal, insyaAllah vokal yg terdengar indah dan gaung nya membawa perubahan untuk sekitar tanpa harus "ngotot" dan debat2an.. :)
A I U E O
BalasHapussips... sepokat... apalagi buat jadi vokalis... hehehe
BalasHapusberarti mas adit milih vokal dong ?
BalasHapusApa cuma lagi latihan baca aja... hihihi
cek, cek, ehm, ehm, :)
BalasHapuskalo gini mah lebih cocok dibilang cek sound and cek ombak daripada latihan baca hihihi...
BalasHapus[A] okeh...yang di sebelah kanan, kedengaran?
BalasHapus[B] kedengaran....
[A] yang di sebelah kiri, kedengaran?
[C] kedengaran....
[A] yang di belakang, kedengaran?
[D] tidak.....
[A] tidak, berarti kedengaran....
*bayangkan suara kang roma irama, ngebas-ngebas fals dengan echo..cho..cho..cho... :P
hahahahaha....
BalasHapusabis itu langsung teriak.... gimana yang di belakang perlu air ????
Perlu gak.... kalo nggak, berarti TERLALU... [gaya Rhoma Irama juga... hihihi]
*langsung disiram water canon deh [mau atau tidak]
Waktu tidur kita tidak melakukan aktivitas berbicara.
BalasHapussepokats... kecuali kalo tidurnya ngigau... hehehe
BalasHapus