.post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

Kamis, 27 November 2008

Digital Immigrant Vs Digital Natives

Rasanya saat ini sudah tidak ada lagi tempat persembunyian yang aman untuk melindungi diri dari invasi raksasa yang bernama digital. Semua lini kehidupan sudah terdigitalisasi secara paksa. Semua barang sedikit demi sedikit sudah beralih ke digital. Semua orang secara tidak langsung diseret untuk "tunduk" pada dunia digital. Setiap detik tak ada yang terlewatkan sentuhan digital. Ekstremnya, dunia digital sudah mampu mengkudeta dunia analog secara telak.

Akhirnya secara perlahan tapi pasti gaya hidup kita (terutama dalam mendapatkan informasi) terswitch secara otomatis. Mau tidak mau, suka tidak suka, kita mesti berubah dari dunia analog ke dunia digital, bila tak mau dibilang loggards (orang yang tidak mau menerima inovasi, salah satunya karena phobia ataupun budaya).

Namun sayangnya, belum semua kalangan mampu memanfaatkan dunia digital secara bijaksana. Tidak sedikit orang yang memanfaatkannya hanya untuk dibilang gaul atau biar tidak dibilang gaptek saja. Bahkan karena tuntutan gaul, mereka menjadi seperti menghamba pada digital. Sedetik tidak bersentuhan saja ada yang kurang. Padahal, sekali lagi, mereka memanfaatkan digital hanya sebatas sebagai kosmetik untuk mempermanis pergaulan saja, tidak lebih. Butuh edukasi lebih untuk mempercantiknya. Disamping itu, banyak pula yang memanfaatkan digital sebagai instrumen untuk mempercepat kerjanya, bahkan digital merupakan lahan empuk untuk mengibarkan bendera dunia pekerjaan.

Kelompok di atas dibagi berdasarkan gaya memanfaatkan digital. Namun, secara umum di dunia ini terdapat dua kelompok besar bila dilihat dari segi era kehadiran digital. Yaitu : mereka yang sudah ada sebelum era digital muncul (digital immigrant) dan mereka yang ada setelah era digital muncul (digital natives).

Untuk melihat secara jelas perbedaan antara digital immigrant dan digital natives, berikut akan disajikan karakteristiknya.


Digital Immigrant
  1. Lahir sebelum tahun 1980
  2. Hanya mengerjakan satu tugas dalam satu waktu
  3. Lebih menyukai membaca dalam format hardcopy, contoh : buku, koran, dll
  4. Mereka masih menganggap yang banyak ilmunya adalah yang banyak tulisannya (values text more)
  5. Bekerja secara konsisten dan bertahap, sehingga memakan waktu lebih banyak
  6. Baru mulai belajar teknologi

Digital Natives
  1. Lahir setelah tahun 1980, namun dengan catatan mereka hidup di tempat yang dikelilingi oleh teknologi
  2. Mengerjakan banyak tugas dalam satu waktu, contoh : mengerjakan paper di komputer sambil mendengarkan musik, dll
  3. Lebih menyukai membaca dari screen atau layar. Untuk hal ini, menurut penelitian yang dilakukan oleh Gary Small (2008) dalam bukunya yang berjudul IBrain, ia mengatakan bahwa informasi yang dibaca melalui screen akan lebih bertahan lama dalam memori. Selain itu juga, dengan membaca melalui screen akan memperbanyak proses penyambungan neuron-neuron di otak.
  4. Lebih menyukai multimedia daripada hanya sekedar teks
  5. Lebih cepat memahami konsep (berkaitan dengan point 4)
  6. Pengguna teknologi
  7. Bagi mereka tidak ada perbedaan antara dunia offline dan online

Bila kedua karakter tersebut ditempelkan pada dunia pendidikan, maka digital immigrant adalah penggambaran dari sosok guru dan digital natives adalah penggambaran dari sosok peserta didik atau siswa. Dari sini nampak sekali gap dalam perteknologian. Untuk mendekatkan gap itu, guru terpaksa terbirit-birit dalam hal menebalkan kompetensinya dalam dunia perteknologian ini.

Contoh mengenai gap yang dihasilkan antara digital immigrant dan digital natives, dapat dilihat di sini : http://www.pbs.org/wgbh/pages/frontline/kidsonline/

Mengapa bisa demikian ? karena dunialah yang menuntutnya demikian. Namun demikian, bukan berarti kita menjadikan teknologi sebagai tujuan, karena teknologi adalah hanya alat untuk mempercepat mencapai tujuan. Bisa dikatakan pula menjadi, teknologi bukan segala-galanya, namun segala-galanya bisa berawal dari teknologi.

Sekolah adalah salah satu wadah untuk mentreatnya. Seorang pendidik/guru dituntut untuk bisa mempersiapkan peserta didiknya untuk menjadi pemain yang handal dalam era digital. Dalam era digital atau abad 21, pebelajar dituntut untuk bisa menjadi :
  1. kreatif, bisa menghasilkan suatu hal yang beda ataupun baru
  2. mobile atau lebih aktif
  3. multitasking, mampu mengerjakan banyak tugas dalam satu waktu
  4. kolaboratif, suka belajar dalam kelompok
  5. produser/mencipta (create new knowledge), tidak hanya sekedar menerima tapi mencari dan kemudian mengkonstruksi konsep hasil dari pemahamannya sendiri terhadap hal tersebut.
Dengan melihat segala tuntutan di atas, jadi tidak mungkin rasanya seorang pendidik/guru akan mempersenjatai peserta didiknya dengan misil-misil yang melempem atau misil yang jauh dari aroma teknologi.

Selamat berdigitalisasi secara bijaksana untuk semua...



*Residu yang telah berhasil diparafrasekan dari : Presentasi Jane Amanda Ross dalam Konggres Guru Indonesia (Balai Kartini, 27 - 28 November 2008) dengan topik "Digital Storytelling - New Digital Literacy's for the 21st Century : A Proposal for an Online Storytelling Database for Indonesia Children"

27 komentar:

  1. ya... bisa dikopi gitu... ganti... ;D

    BalasHapus
  2. ada makalahnya mbak?? mau dong...menarik kayaknya...
    hehehe...
    makasih mbak...

    :)

    BalasHapus
  3. makalahnye kagak ada, tapi besok kata panitia mau dikasih softcopynya... begitu kira2 yang bisa saya sampaikan di forum ini... hehehe

    BalasHapus
  4. makalahnye kagak ada, tapi besok kata panitia mau dikasih softcopynya... begitu kira2 yang bisa saya sampaikan di forum ini... hehehe

    BalasHapus
  5. kalau saya termasuk digital native atau digital immigrant ya?

    BalasHapus
  6. kalo dilihat tahun kelahiran sih.... hmmm... nggak mau dilanjutin ah... takut kualat... hehehe

    *bercanda mas

    BalasHapus
  7. Buat para digital Immigrant, hidup sudah serasa di planet lain ya mbak :D

    BalasHapus
  8. Seperti biasa, sebelah kaki di dunia digital immigrant dan sebelah lagi di dunia digital native.

    terkadang terombang-ambing seperti The Flying Dutchman

    *teteup :D

    BalasHapus
  9. iye... tapi dengan catatan kalo tuh digimm emang nggak mau belajar buat mengenal tekno... ye kagak mas ? ;D

    BalasHapus
  10. kayaknya udah pada techno-phobia mbak :(

    BalasHapus
  11. diantara ye... ?

    iye teteup sureteup... rujukan tunggal kayaknye tuh The Flying Dutchman

    BalasHapus
  12. salah satu penyebabnya kayaknya virus tuh... jadi banyak muncul tekno phobia baru... :)

    BalasHapus
  13. Masih banyak koq rujukan yang lain, cuma belum berani dikeluarin aja :D

    BalasHapus
  14. Iya mbak, padahal seharusnya if you can't fight them join them

    BalasHapus
  15. rujuk mah sekali aja mas... *cukup sekali aku merasakan kegagalan cinta... takkan terulang kedua kali di dalam hidupku...

    hahaha

    BalasHapus
  16. iya dah... aturable... aye akur2 aje... ;D

    BalasHapus
  17. Assalamu'alaikum...

    mba ann, jd mau materi KGInya ? kalo mau nanti saya kirimkan CDnya... jangan khawatir gratis kok... hehehe

    Oiya, jangan lupa CDnya mau dikirimnya kemana...

    ini no hape saya kalo mau contact2an... (pede banget ye saya... ;b)

    0815 88 33 431 atawa 7127 55 33

    BalasHapus
  18. kayaknya masalah tahun kelahiran bukan masalah yang relevan dan signifikan deh mbak

    *ngeles*

    Yang lebih penting adalah masalah kantong utk menyediakan gadget2 yang dperlukan utk jadi digital native yang "kaafah"

    sebab kemana-mana kan harus bawa laptop, HP 3 G dan peralatan tempur lainnya.

    BalasHapus
  19. bukan masalah kantongnya mas, tapi isi dalam kantong tersebut. Isinya uang segepok apa kertas segepok... hehehe

    BalasHapus
  20. he he he, betul mbak, kira-kira kalangan digital natives punya cara gak ya buat mempertebal isi kantong agar bisa men-support digital lifestyle mereka?

    cara yang bisa kita tiru maksudnya, he he he

    BalasHapus
  21. mau tau mas cara menikmati teknologi tanpa harus keluar uang ? masuk aja komunitas tebengers... nih komunitas kerjaannya nebeng fasilitas tekno kelompok lain... bisa merasakan walaupun tidak memiliki gitu deh... hahaha

    BalasHapus
  22. He he he, ide yang bagus, saya juga suka gitu koq, nebeng mobil orang misalnya :D

    BalasHapus
  23. nebeng emang mantabs ye mas... gaya2an hidup anak muda masa kini... hihihi

    BalasHapus
  24. 3. multitasking, mampu mengerjakan banyak tugas dalam satu waktu
    =====================================================
    di dunia kerja kemampuan spt ini sangat dibutuhkan bahkan wajib

    BalasHapus

Dilarang keras berkomentar yang mengandung unsur saru dan sarkas