Akhirnya secara perlahan tapi pasti gaya hidup kita (terutama dalam mendapatkan informasi) terswitch secara otomatis. Mau tidak mau, suka tidak suka, kita mesti berubah dari dunia analog ke dunia digital, bila tak mau dibilang loggards (orang yang tidak mau menerima inovasi, salah satunya karena phobia ataupun budaya).
Namun sayangnya, belum semua kalangan mampu memanfaatkan dunia digital secara bijaksana. Tidak sedikit orang yang memanfaatkannya hanya untuk dibilang gaul atau biar tidak dibilang gaptek saja. Bahkan karena tuntutan gaul, mereka menjadi seperti menghamba pada digital. Sedetik tidak bersentuhan saja ada yang kurang. Padahal, sekali lagi, mereka memanfaatkan digital hanya sebatas sebagai kosmetik untuk mempermanis pergaulan saja, tidak lebih. Butuh edukasi lebih untuk mempercantiknya. Disamping itu, banyak pula yang memanfaatkan digital sebagai instrumen untuk mempercepat kerjanya, bahkan digital merupakan lahan empuk untuk mengibarkan bendera dunia pekerjaan.
Kelompok di atas dibagi berdasarkan gaya memanfaatkan digital. Namun, secara umum di dunia ini terdapat dua kelompok besar bila dilihat dari segi era kehadiran digital. Yaitu : mereka yang sudah ada sebelum era digital muncul (digital immigrant) dan mereka yang ada setelah era digital muncul (digital natives).
Untuk melihat secara jelas perbedaan antara digital immigrant dan digital natives, berikut akan disajikan karakteristiknya.
Digital Immigrant
- Lahir sebelum tahun 1980
- Hanya mengerjakan satu tugas dalam satu waktu
- Lebih menyukai membaca dalam format hardcopy, contoh : buku, koran, dll
- Mereka masih menganggap yang banyak ilmunya adalah yang banyak tulisannya (values text more)
- Bekerja secara konsisten dan bertahap, sehingga memakan waktu lebih banyak
- Baru mulai belajar teknologi
Digital Natives
- Lahir setelah tahun 1980, namun dengan catatan mereka hidup di tempat yang dikelilingi oleh teknologi
- Mengerjakan banyak tugas dalam satu waktu, contoh : mengerjakan paper di komputer sambil mendengarkan musik, dll
- Lebih menyukai membaca dari screen atau layar. Untuk hal ini, menurut penelitian yang dilakukan oleh Gary Small (2008) dalam bukunya yang berjudul IBrain, ia mengatakan bahwa informasi yang dibaca melalui screen akan lebih bertahan lama dalam memori. Selain itu juga, dengan membaca melalui screen akan memperbanyak proses penyambungan neuron-neuron di otak.
- Lebih menyukai multimedia daripada hanya sekedar teks
- Lebih cepat memahami konsep (berkaitan dengan point 4)
- Pengguna teknologi
- Bagi mereka tidak ada perbedaan antara dunia offline dan online
Bila kedua karakter tersebut ditempelkan pada dunia pendidikan, maka digital immigrant adalah penggambaran dari sosok guru dan digital natives adalah penggambaran dari sosok peserta didik atau siswa. Dari sini nampak sekali gap dalam perteknologian. Untuk mendekatkan gap itu, guru terpaksa terbirit-birit dalam hal menebalkan kompetensinya dalam dunia perteknologian ini.
Contoh mengenai gap yang dihasilkan antara digital immigrant dan digital natives, dapat dilihat di sini : http://www.pbs.org/wgbh/pages/frontline/kidsonline/
Mengapa bisa demikian ? karena dunialah yang menuntutnya demikian. Namun demikian, bukan berarti kita menjadikan teknologi sebagai tujuan, karena teknologi adalah hanya alat untuk mempercepat mencapai tujuan. Bisa dikatakan pula menjadi, teknologi bukan segala-galanya, namun segala-galanya bisa berawal dari teknologi.
Sekolah adalah salah satu wadah untuk mentreatnya. Seorang pendidik/guru dituntut untuk bisa mempersiapkan peserta didiknya untuk menjadi pemain yang handal dalam era digital. Dalam era digital atau abad 21, pebelajar dituntut untuk bisa menjadi :
- kreatif, bisa menghasilkan suatu hal yang beda ataupun baru
- mobile atau lebih aktif
- multitasking, mampu mengerjakan banyak tugas dalam satu waktu
- kolaboratif, suka belajar dalam kelompok
- produser/mencipta (create new knowledge), tidak hanya sekedar menerima tapi mencari dan kemudian mengkonstruksi konsep hasil dari pemahamannya sendiri terhadap hal tersebut.
Selamat berdigitalisasi secara bijaksana untuk semua...
*Residu yang telah berhasil diparafrasekan dari : Presentasi Jane Amanda Ross dalam Konggres Guru Indonesia (Balai Kartini, 27 - 28 November 2008) dengan topik "Digital Storytelling - New Digital Literacy's for the 21st Century : A Proposal for an Online Storytelling Database for Indonesia Children"
testing
BalasHapusya... bisa dikopi gitu... ganti... ;D
BalasHapusada makalahnya mbak?? mau dong...menarik kayaknya...
BalasHapushehehe...
makasih mbak...
:)
makalahnye kagak ada, tapi besok kata panitia mau dikasih softcopynya... begitu kira2 yang bisa saya sampaikan di forum ini... hehehe
BalasHapusmakalahnye kagak ada, tapi besok kata panitia mau dikasih softcopynya... begitu kira2 yang bisa saya sampaikan di forum ini... hehehe
BalasHapuskalau saya termasuk digital native atau digital immigrant ya?
BalasHapuskalo dilihat tahun kelahiran sih.... hmmm... nggak mau dilanjutin ah... takut kualat... hehehe
BalasHapus*bercanda mas
Buat para digital Immigrant, hidup sudah serasa di planet lain ya mbak :D
BalasHapusSeperti biasa, sebelah kaki di dunia digital immigrant dan sebelah lagi di dunia digital native.
BalasHapusterkadang terombang-ambing seperti The Flying Dutchman
*teteup :D
iye... tapi dengan catatan kalo tuh digimm emang nggak mau belajar buat mengenal tekno... ye kagak mas ? ;D
BalasHapuskayaknya udah pada techno-phobia mbak :(
BalasHapusdiantara ye... ?
BalasHapusiye teteup sureteup... rujukan tunggal kayaknye tuh The Flying Dutchman
salah satu penyebabnya kayaknya virus tuh... jadi banyak muncul tekno phobia baru... :)
BalasHapusMasih banyak koq rujukan yang lain, cuma belum berani dikeluarin aja :D
BalasHapusIya mbak, padahal seharusnya if you can't fight them join them
BalasHapusrujuk mah sekali aja mas... *cukup sekali aku merasakan kegagalan cinta... takkan terulang kedua kali di dalam hidupku...
BalasHapushahaha
iya dah... aturable... aye akur2 aje... ;D
BalasHapuswaduh ngobrol bedua aje nih
BalasHapussekarang dah jadi betiga... :)
BalasHapusAssalamu'alaikum...
BalasHapusmba ann, jd mau materi KGInya ? kalo mau nanti saya kirimkan CDnya... jangan khawatir gratis kok... hehehe
Oiya, jangan lupa CDnya mau dikirimnya kemana...
ini no hape saya kalo mau contact2an... (pede banget ye saya... ;b)
0815 88 33 431 atawa 7127 55 33
kayaknya masalah tahun kelahiran bukan masalah yang relevan dan signifikan deh mbak
BalasHapus*ngeles*
Yang lebih penting adalah masalah kantong utk menyediakan gadget2 yang dperlukan utk jadi digital native yang "kaafah"
sebab kemana-mana kan harus bawa laptop, HP 3 G dan peralatan tempur lainnya.
bukan masalah kantongnya mas, tapi isi dalam kantong tersebut. Isinya uang segepok apa kertas segepok... hehehe
BalasHapushe he he, betul mbak, kira-kira kalangan digital natives punya cara gak ya buat mempertebal isi kantong agar bisa men-support digital lifestyle mereka?
BalasHapuscara yang bisa kita tiru maksudnya, he he he
mau tau mas cara menikmati teknologi tanpa harus keluar uang ? masuk aja komunitas tebengers... nih komunitas kerjaannya nebeng fasilitas tekno kelompok lain... bisa merasakan walaupun tidak memiliki gitu deh... hahaha
BalasHapusHe he he, ide yang bagus, saya juga suka gitu koq, nebeng mobil orang misalnya :D
BalasHapusnebeng emang mantabs ye mas... gaya2an hidup anak muda masa kini... hihihi
BalasHapus3. multitasking, mampu mengerjakan banyak tugas dalam satu waktu
BalasHapus=====================================================
di dunia kerja kemampuan spt ini sangat dibutuhkan bahkan wajib