Pongah kau berjalan di atas karpet emas
Angin kau kibas
Dada kau busungkan sampai cekungan terbentuk di punggungmu secara ganas
Wajahmu kau peruntukkan hanya untuk dual arah :depan dan atas
Senyumpun hanya kau peruntukkan untuk yang berkelas
: lainnya kau libas dan pangkas
Teknologi kau pacari dan gauli mati-matian
Sosiologi kau mentahkan kemudian
Kau merasa anak langitan
Tidak bisa bercermin pada kaum yang kau bilang karbitan
Malahan kau bilang wajah mereka tak ubahnya kayak setan
Mendekatinya hanya menimbulkan keributan
Menjauh mungkin kau bilang keputusan teraman
Tapi ternyata...
Bidadari tak selamanya di langit
Si buta tak selamanya di goa
Raja pun tak selalu berada di singgasana
Pada titik tertentu mereka kudu beradu dengan realitas
Pongah kau berjalan
Tapi kini, di atas tanah yang bertabur kepingan kerikil
Adauw... Uhhh...
Kau jatuh
Mata yang menancap di kakimu pun mulai bengkak
Keringat dingin meluncur deras dari pelipis dan tengkukmu
Cuma meringis akhirnya yang bisa tergaris untuk menahan histeris
: ironis
> Kala orang besar kehilangan tanduk dan tunduk hanya pada makhluk mungil bernama kerikil
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dilarang keras berkomentar yang mengandung unsur saru dan sarkas