Inilah bahasa yang paling unik bila dibandingkan dengan bahasa yang lazim bergentayangan di muka bumi ini. Mengapa unik ? karena setiap huruf yang dirangkai untuk seorang sahabat, tak ubahnya bagai sedang membeli slot saham, berspektrum luas, dan pastinya (paling nggak yang saya tahu) sampai saat ini belum ada kamus resminya.
Bahasa Sahabat = Saham
Sebelum seseorang tertarik atau mengambil langkah untuk membeli sebuah slot saham, pastinya ia telah ngebrowse secara mendalam tentang segala macam variabel yang membangun perusahaan tersebut. Baik variabel positif maupun negatif. Dan tidak hanya berhenti disitu, setelah terjadi proses pembelian, sepak terjang dan reaksi pasar terhadap perusahaan itu pun akan terus dipantau dan hasilnya akan dianalisa. Hasil analisa inilah yang nantinya menentukan apakah konsentrasi dari saham yang ditanam akan dipadatkan, dilonggarkan, atau bahkan dihilangkan.
Sekarang bagaimana dengan bahasa sahabat ????
Persahabatan tidak bisa lahir secara ujug-ujug. Ada etape yang harus dilewati dan pastinya tiap etape itu tidak bisa dilewati secara murah. Ada biaya yang harus dibayar dan itu semua cuma bisa terlunasi pembayarannya jika kita "lulus ujian".
"Cuma mau kenalan aja kok", mungkin kalimat inilah yang terlintas di kepala kita saat menjulurkan tangan atau mengangsurkan nama untuk pertama kalinya pada orang lain. Ya, hanya sekedar ingin berkenalan, tidak lebih. Setelahnya, waktu dan "kepentingan"lah yang terus menyeret kita untuk dapat mengenali orang lebih jauh. Disinilah terjadi proses browsing terhadap seseorang dan instrumen yang biasa digunakan untuk membrowsenya adalah bahasa (yang terkonkritkan melalui obrolan/dialog). Segala variabel yang terikat dengannya ingin dan terus kita gali. Tujuannya tidak lain adalah agar kita bisa memposisikan diri secara lunak dan agar kita bisa membahasakan bahasa yang pas kala bergaul dengannya. Yah... biar nantinya tidak terjadi ambiguitas dan salah tafsir terhadap apa yang kita omongkan dan langkahkan. Intinya untuk meraih sebuah harmonisasi dalam persahabatan, dan berhubung manusia adalah makhluk yang dinamis, maka kita perlu untuk melakukan penggalian dan penganalisaan karakter tiada henti. Agar kita tahu kapan harus banyak bicara, sedikit bicara, dan kapan harus diam. Dan pastinya sahabat yang baik tidak akan pernah mau menjerumuskan sahabatnya. Disinilah analogi pembelian saham terjadi. Saat kita sudah niat untuk menjalin persahabatan dengan orang lain, secara tidak langsung kita sudah menaruh secarik saham kepercayaan dalam diri orang tersebut. Dan sekali saham terpancang, sejatinya kebaikan terus meluncur dalam doa dan langkah kita, karena kita merasa ikut "memiliki"nya. Lagipula tidak maukan kita merugi terhadap hal yang kita sahamkan ???
Jadi bila ingin disimpulkan, sedikitnya ada 4 tahapan yang mesti dilalui untuk menumbuhkan persahabatan ataupun keterikatan hati, yaitu mulai dari taaruf (saling mengenal), tafaahum (saling memahami), takaful (saling memberi dukungan), sampai dengan ta'awun (saling tolong menolong).
Spektrum Luas
Menurut Halliday, secara makro bahasa mempunyai 3 fungsi, yaitu : 1) fungsi ideasional, untuk membentuk, mempertahankan, dan memperjelas hubungan diantara anggota masyarakat, 2) fungsi interpersonal, untuk menyampaikan informasi diantara anggota masyarakat, dan 3) fungsi tekstual, untuk menyediakan kerangka, pengorganisasian diskursus (wacana) yang relevan dengan situasi.
Begitulah teorinya, namun dalam menjalin sebuah hubungan (dalam hal ini) persahabatan kita tidak hanya bermain di tataran teori, tetapi lebih pada tataran praktis. Bila melihat dari point teori di atas, interaksi kita dengan sahabat lebih kepada point ke-2, yaitu bahasa sebagai fungsi interpersonal.
Ngobrol adalah hal yang nikmat dilakukan saat kita bertemu dan kongkow-kongkow dengan sahabat. Segala macam obrolan mengalir begitu saja, tidak jelas ujung dan pangkal pembahasannya. Semuanya bagai sebuah gerakan reflek yang keluar begitu saja tanpa menunggu olah dari otak. Namun bila pembicaraan sudah masuk dalam area serius, tidak heran juga bila akhirnya sampai terjadi tarik menarik urat leher dalam rangka mempertahankan argumentasi. Semua pembicaraan menjadi terkesan sistematis, dimulai dari prolog dan berakhir pada kesimpulan (walaupun terkadang kesimpulan yang direpih masih pula mengambang).
Yang membuat bahasa sahabat berspektrum luas adalah karena selalu ada rasa yang coba ditempelkan pada kata-katanya. Sehingga, mau panjang ataupun pendek, kata-kata yang disampaikan menjadi terasa meaningfull di hati (entahlah di kepala).Terkadang kata yang berisi 2 huruf saja sudah bisa membuat hati dan mata kita teriris, sehingga membuat diri ini menjadi perih dan menangis sejadi-jadinya. Sebaliknya, tidak sedikit juga kita mendengar sahabat kita berbicara sampai berparagraf-paragraf, namun kita merasakannya sebagai suatu hal yang "gak makna". Hal tersebut terakhir terjadi, salah satunya karena sudah muncul egoisitas dalam diri kita, sehingga sebaik dan sebenar apapun yang disampaikan, kita akan menganggapnya sebagai angin lalu aja. Bahkan terkadang kita meresponnya dengan kata berikut "loe bisa ngomong gitu karena loe bukan di posisi gue. Loe gak ngerasain apa yang lagi gue rasain" Kalau sudah begitu apa respon kita, apakah kita akan menjawabnya seperti ini : "terserah loe lah..." Sebuah respon yang simpel dan indah sepertinya... hehehe. Tapi tidak menyelesaikan sebuah permasalahan. Mungkin jawaban berikut bisa mengademkan stimulus yang tadi "oke... gue emang bukan di posisi loe dan gue sekarang emang gak ngerasain apa yang lagi loe rasain. Tapi paling nggak ijinin gue buat sedikit ngegeser posisi loe, biar gue pun bisa memandang masalah loe dari posisi yang sama dengan loe..." Subhanallah... ada gak ya orang yang seperti ini ???
Tidak Ada Kamus Resminya
Sampai saat ini, belum pernah dengar kamus yang bertajuk "Kamus Besar Bahasa Sahabat". Hal ini terkait dengan point yang disebutkan sebelumnya, bahwa bahasa sahabat itu berspektrum luas. Dan karena teramat luas itulah, rasanya tidak ada bahasa yang bisa digeneralisasikan untuk penyikapan suatu hal. Masalah yang sama, orang yang sama belum tentu diselesaikan dengan menggunakan bahasa yang sama. Ada waktu dan mood yang ikut terlibat di dalam penyampaiannya. Tetapi paling nggak saat berkomunikasi dengan sahabat ada 2 pilihan berwacana yang bisa kita pilih (Sudjiman, 1993), mau secara transaksional (lebih mementingkan "isi" komunikasi) atau secara interaksional (lebih mementingkan hubungan timbal balik antara penyapa (adresser) dan pesapa (adressee).
Dan menurut Ariel Heryanto, "kalimat hanya dibentuk, hanya akan bermakna, selama ia tunduk pada sejumlah 'aturan' gramatika yang di luar kemauan atau kendali si pembuat kalimat. Aturan-aturan kebahasaan tidak dibentuk secara individual oleh penutur yang bagaimanapun pintarnya. Bahasa selalu menjadi milik bersama di ruang publik"
Inti dari semua pembahasan di atas adalah...
Sebelum seseorang tertarik atau mengambil langkah untuk membeli sebuah slot saham, pastinya ia telah ngebrowse secara mendalam tentang segala macam variabel yang membangun perusahaan tersebut. Baik variabel positif maupun negatif. Dan tidak hanya berhenti disitu, setelah terjadi proses pembelian, sepak terjang dan reaksi pasar terhadap perusahaan itu pun akan terus dipantau dan hasilnya akan dianalisa. Hasil analisa inilah yang nantinya menentukan apakah konsentrasi dari saham yang ditanam akan dipadatkan, dilonggarkan, atau bahkan dihilangkan.
Sekarang bagaimana dengan bahasa sahabat ????
Persahabatan tidak bisa lahir secara ujug-ujug. Ada etape yang harus dilewati dan pastinya tiap etape itu tidak bisa dilewati secara murah. Ada biaya yang harus dibayar dan itu semua cuma bisa terlunasi pembayarannya jika kita "lulus ujian".
"Cuma mau kenalan aja kok", mungkin kalimat inilah yang terlintas di kepala kita saat menjulurkan tangan atau mengangsurkan nama untuk pertama kalinya pada orang lain. Ya, hanya sekedar ingin berkenalan, tidak lebih. Setelahnya, waktu dan "kepentingan"lah yang terus menyeret kita untuk dapat mengenali orang lebih jauh. Disinilah terjadi proses browsing terhadap seseorang dan instrumen yang biasa digunakan untuk membrowsenya adalah bahasa (yang terkonkritkan melalui obrolan/dialog). Segala variabel yang terikat dengannya ingin dan terus kita gali. Tujuannya tidak lain adalah agar kita bisa memposisikan diri secara lunak dan agar kita bisa membahasakan bahasa yang pas kala bergaul dengannya. Yah... biar nantinya tidak terjadi ambiguitas dan salah tafsir terhadap apa yang kita omongkan dan langkahkan. Intinya untuk meraih sebuah harmonisasi dalam persahabatan, dan berhubung manusia adalah makhluk yang dinamis, maka kita perlu untuk melakukan penggalian dan penganalisaan karakter tiada henti. Agar kita tahu kapan harus banyak bicara, sedikit bicara, dan kapan harus diam. Dan pastinya sahabat yang baik tidak akan pernah mau menjerumuskan sahabatnya. Disinilah analogi pembelian saham terjadi. Saat kita sudah niat untuk menjalin persahabatan dengan orang lain, secara tidak langsung kita sudah menaruh secarik saham kepercayaan dalam diri orang tersebut. Dan sekali saham terpancang, sejatinya kebaikan terus meluncur dalam doa dan langkah kita, karena kita merasa ikut "memiliki"nya. Lagipula tidak maukan kita merugi terhadap hal yang kita sahamkan ???
Jadi bila ingin disimpulkan, sedikitnya ada 4 tahapan yang mesti dilalui untuk menumbuhkan persahabatan ataupun keterikatan hati, yaitu mulai dari taaruf (saling mengenal), tafaahum (saling memahami), takaful (saling memberi dukungan), sampai dengan ta'awun (saling tolong menolong).
Spektrum Luas
Menurut Halliday, secara makro bahasa mempunyai 3 fungsi, yaitu : 1) fungsi ideasional, untuk membentuk, mempertahankan, dan memperjelas hubungan diantara anggota masyarakat, 2) fungsi interpersonal, untuk menyampaikan informasi diantara anggota masyarakat, dan 3) fungsi tekstual, untuk menyediakan kerangka, pengorganisasian diskursus (wacana) yang relevan dengan situasi.
Begitulah teorinya, namun dalam menjalin sebuah hubungan (dalam hal ini) persahabatan kita tidak hanya bermain di tataran teori, tetapi lebih pada tataran praktis. Bila melihat dari point teori di atas, interaksi kita dengan sahabat lebih kepada point ke-2, yaitu bahasa sebagai fungsi interpersonal.
Ngobrol adalah hal yang nikmat dilakukan saat kita bertemu dan kongkow-kongkow dengan sahabat. Segala macam obrolan mengalir begitu saja, tidak jelas ujung dan pangkal pembahasannya. Semuanya bagai sebuah gerakan reflek yang keluar begitu saja tanpa menunggu olah dari otak. Namun bila pembicaraan sudah masuk dalam area serius, tidak heran juga bila akhirnya sampai terjadi tarik menarik urat leher dalam rangka mempertahankan argumentasi. Semua pembicaraan menjadi terkesan sistematis, dimulai dari prolog dan berakhir pada kesimpulan (walaupun terkadang kesimpulan yang direpih masih pula mengambang).
Yang membuat bahasa sahabat berspektrum luas adalah karena selalu ada rasa yang coba ditempelkan pada kata-katanya. Sehingga, mau panjang ataupun pendek, kata-kata yang disampaikan menjadi terasa meaningfull di hati (entahlah di kepala).Terkadang kata yang berisi 2 huruf saja sudah bisa membuat hati dan mata kita teriris, sehingga membuat diri ini menjadi perih dan menangis sejadi-jadinya. Sebaliknya, tidak sedikit juga kita mendengar sahabat kita berbicara sampai berparagraf-paragraf, namun kita merasakannya sebagai suatu hal yang "gak makna". Hal tersebut terakhir terjadi, salah satunya karena sudah muncul egoisitas dalam diri kita, sehingga sebaik dan sebenar apapun yang disampaikan, kita akan menganggapnya sebagai angin lalu aja. Bahkan terkadang kita meresponnya dengan kata berikut "loe bisa ngomong gitu karena loe bukan di posisi gue. Loe gak ngerasain apa yang lagi gue rasain" Kalau sudah begitu apa respon kita, apakah kita akan menjawabnya seperti ini : "terserah loe lah..." Sebuah respon yang simpel dan indah sepertinya... hehehe. Tapi tidak menyelesaikan sebuah permasalahan. Mungkin jawaban berikut bisa mengademkan stimulus yang tadi "oke... gue emang bukan di posisi loe dan gue sekarang emang gak ngerasain apa yang lagi loe rasain. Tapi paling nggak ijinin gue buat sedikit ngegeser posisi loe, biar gue pun bisa memandang masalah loe dari posisi yang sama dengan loe..." Subhanallah... ada gak ya orang yang seperti ini ???
Tidak Ada Kamus Resminya
Sampai saat ini, belum pernah dengar kamus yang bertajuk "Kamus Besar Bahasa Sahabat". Hal ini terkait dengan point yang disebutkan sebelumnya, bahwa bahasa sahabat itu berspektrum luas. Dan karena teramat luas itulah, rasanya tidak ada bahasa yang bisa digeneralisasikan untuk penyikapan suatu hal. Masalah yang sama, orang yang sama belum tentu diselesaikan dengan menggunakan bahasa yang sama. Ada waktu dan mood yang ikut terlibat di dalam penyampaiannya. Tetapi paling nggak saat berkomunikasi dengan sahabat ada 2 pilihan berwacana yang bisa kita pilih (Sudjiman, 1993), mau secara transaksional (lebih mementingkan "isi" komunikasi) atau secara interaksional (lebih mementingkan hubungan timbal balik antara penyapa (adresser) dan pesapa (adressee).
Dan menurut Ariel Heryanto, "kalimat hanya dibentuk, hanya akan bermakna, selama ia tunduk pada sejumlah 'aturan' gramatika yang di luar kemauan atau kendali si pembuat kalimat. Aturan-aturan kebahasaan tidak dibentuk secara individual oleh penutur yang bagaimanapun pintarnya. Bahasa selalu menjadi milik bersama di ruang publik"
Inti dari semua pembahasan di atas adalah...
Sahabat akan selalu mempunyai bahasa yang khas dalam menyampaikan dan "mengademkan" sesuatu hal. Dan tidak ada peraturan yang mengisyaratkan bagaimana semestinya tata cara berbahasa dengan sahabat, karena sebenarnya cuma rasa "nyaman dan percaya" sajalah yang menjadi kunci untuk dapat mendilatasi itu semua.
Sumber Bacaan :
Sobur, Alex. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.
Sobur, Alex. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.
Sumber Foto :
Http://susansudarwin.wordpress.com
wah2, to de poin :)
BalasHapuskalo kata tukul sih, tunjep poin... ;D
BalasHapus