.post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

Minggu, 20 Desember 2009

Teacher Resurrection

Seorang yang bisa memposisikan dirinya kapan harus menjadi guru, teman, sahabat, orang tua, bahkan musuh sejati. Kata-kata itu sepertinya yang akan keluar dari mulut saya bila ditanyakan tentang guru seperti apakah yang saya inginkan? Mungkin yang saya ungkapkan tersebut terlalu berlebihan dan bahkan sudah dipenuhi aroma penuntutan. Ya, menuntut seseorang untuk menjadi sempurna di mata saya. Padahal sayapun tidak mampu menjadi murid yang ideal di mata mereka. Guru-guru saya.

Hal yang diungkapkan di atas adalah salah satu kesombongan saya sebagai murid. Kesombongan saya yang lain adalah, terkadang saya merasa hidden curriculum yang saya terima dari mereka jauh lebih saya nantikan daripada operational curriculum yang mesti saya terima dari mereka. Kenapa demikian? karena menurut saya, materi bisa saya dalami dari buku. Jadi, tidaklah heran saat guru saya menyampaikan materi di depan kelas, pikiran saya malah mencoba berlari menembus dirinya bukan memamah materinya darinya. Mungkin ini salah satu hal yang membuat saya sering tidak fokus, karena terlalu sibuk melucuti hidden curriculumnya... hehehe.

Bila ingin ditarik garis dari apa yang sudah saya alami, ternyata kecerdasan bukanlah satu-satunya modal bagi seorang guru untuk dapat menggiatkan seorang muridnya dalam belajar. Sesungguhnya ada faktor lain yang menjadi motornya, yaitu nilai (value) yang menempel di guru tersebut. Lantas, sosok guru seperti apakah yang sejatinya dinanti murid-muridnya???


Bukan Menjual Kecerdasan
"Ini guenya yang bodoh, apa dianya yang kepinteran ya?" Tidak sedikit saya mendengar ujaran-ujaran ini di kelas ataupun di luar kelas. Ujaran ini muncul biasanya kala terjadi kesenjangan intelektual antara guru dan murid atau adanya kementokan yang dialami murid saat mencoba memahami apa yang tengah disampaikan gurunya. Mengapa hal ini bisa terjadi??? Salah satunya karena sang guru tidak memposisikan dirinya sebagai murid saat menyampaikan materi. Jadilah apa yang disampaikan hanya menggunakan bahasanya, cara berpikirnya, dan pemahamannya. Padahal suksesnya seorang guru dalam menyampaikan sebuah materi adalah bukan hanya dari seberapa kenyangkah murid memakan materi, tetapi lebih ke seberapabesarkah pemahaman murid tentang materi yang telah membuatnya kenyang tersebut. Intinya jangan sampai murid mempunyai paham yang salah karena salah pemahaman. Jikalau guru menggunakan bahasa dan pemahaman tingginya untuk menambah perbendaharaan kata dan pemahaman murid, maka akan lebih bijaksana jika guru menguraikan lebih jauh apa makna dari bahasa dan pemahamannya tersebut.

Sejalan dengan hal tersebut ada 3 hal yang bisa menjadi acuan bagaimana semestinya kita menyampaikan ilmu dengan baik, yaitu: bicaralah sesuai dengan kadar akal mereka, bicaralah dengan menggunakan bahasa mereka, dan dudukkanlah menurut kedudukan mereka. Bila ketiga hal ini dijalani, rasanya tidak akan ada lagi ujaran-ujaran hasil kesenjangan intelektual yang akan muncul kepermukaan. Toh, tugas seorang guru bukanlah untuk menjual kecerdasan, tetapi lebih kepada: mengubah yang awam menjadi paham, membuka jalan dari "preman" menjadi "beriman", membuat yang meringkel (baca: sulit) menjadi simple, dan membuat materi yang enak menjadi tidak eneg.


Perlebar Waktu
Datang tergesa-gesa dan pulang terburu-buru. Apa yang akan diperoleh seorang guru dari muridnya jika selalu seperti ini penampakannya? Apa yang akan berbekas di hati seorang murid jika hal seperti ini menjadi sebuah rutinitas? Tiga kata yang bisa menjawabnya "hanya menggugurkan kewajiban". Ya, akhirnya hanya pengguguran kewajiban saja yang didapat tanpa adanya keterikatan batin dan rasa yang menghinggapinya. Kalau begini terus kejadiannya, tidaklah heran bila bermunculan guru-guru haram. Maksudnya, guru yang kehadirannya tidak dinanti dan ketidakhadirannya tidak ditanyakan.

Cara yang paling efektif untuk mengikat hati adalah dengan menyediakan waktu lebih untuk mereka. Usahakanlah datang ke kelas sebelum waktu "show" dan jangan langsung pulang usai waktu "show". Sempatkanlah untuk bercengkrama dengan mereka, walau sejenak, walau hanya untuk pembicaraan ringan, sebab kualitas harus direndengi dengan kuantitas dan kuantitaspun harus berkualitas. Jangan pula khawatir imaje seorang guru akan jatuh bila bergaul dengan mereka. Justru bermula dari merekalah sesungguhnya kita bisa belajar menjadi guru yang baik.


Sentuh Tepat di Hatinya
Guru bukanlah dewa. Guru bukanlah hakim. Guru hanya seorang manusia biasa yang mencoba membantu muridnya untuk melihat dan memilih jalan yang lebih baik. Lalu, mestikah menunjukkan jalan yang baik dengan cara yang tidak baik??? sangat mengotori perjuangan sepertinya.

Adakalanya seorang murid tidak mengikuti apa yang kita sarankan. Adakalanya seorang murid melakukan hal yang tidak kita inginkan. Adakalanya pula seorang murid menjalani hal yang tidak semestinya. Apa yang mesti dilakukan oleh seorang guru? Langsung mencap mereka sebagai murid nakal, pembangkang, atau bahkan langsung melakukan tindakan fisik??? Yang paling pas diantara itu semua adalah ajak mereka bicara dan janganlah menyimpulkan secara dini apalagi kesimpulan itu didapat dari data yang "on the spot" (baca: saat itu terjadi) saja. Sentuhlah tepat di hatinya, itulah kuncinya.


Egaliter

Guru dan murid adalah mitra dalam proses intelektual, dalam artian guru dan murid sama kedudukannya. Sama haknya dalam bersuara dan mendengar, sama kewajibannya dalam mematuhi peraturan yang dibuat bersama. Kemitraan ini semakin dipertegas dengan perubahan paradigma dalam pendidikan, dari teacher centered menjadi student centered. Guru bukan segala-galanya. Guru tidak kebal salah. Dengan demikian, bodoh sekali rasanya bila kita selalu menelan mentah-mentah apa yang mereka sampaikan. Pepatahpun mengatakan "jika manis jangan langsung ditelan, bila pahitpun jangan langsung dibuang". Bukan berarti hal ini mengajarkan seorang murid untuk tidak hormat kepada gurunya, tetapi lebih untuk mengajarkan seorang murid untuk belajar kritis sekaligus belajar mengemukakan opini berdasarkan sumber yang benar. Dalam menjalani peraturanpun sama kewajibannya. Jangan sampai guru membuat peraturan terlambat 15 menit murid boleh masuk dengan menutup pintu dari luar, sedangkan dirinya terlambat 15 menit boleh masuk dengan menutup pintu dari dalam. Gampangnya, murid tidak boleh masuk kalau terlambat dan guru boleh masuk kalau terlambat. Tidak egaliter bukan?


Perpanjang dan Perlebar Tujuan
Sebagai guru yang masih tercatat sebagai manusia, kita sering dijubeli berbagai kebutuhan dan kepentingan yang kadang membuat motivasi kita melemah dalam bergerak. Banyak faktor yang membidani keluarnya rasa itu, mulai dari rendahnya finansial, murid yang sering membuat urat leher kita tertarik, sampai dengan masalah yang bersifat pribadi lainnya. Bagaimanakah cara mengurangi kenegatifan rasa ini? memperpanjang dan memperlebar tujuanlah jawabannya. Jadikanlah tujuan kita berdiri di kelas bukan sekedar untuk menunaikan tugas dan aktualisasi diri, tetapi lebih dari itu. Kita berdiri di kelas adalah untuk beribadah sebagai sarana mencuri cinta ALLAH. ALLAH berfirman dalam Surat Al An'am ayat 162-163: "Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk ALLAH, Tuhan alam semesta. Tidak ada sekutu bagiNya"

Selain itu, yang kita hadapi adalah bukan sekedar penduduk yang kebetulan dapat kesempatan duduk di kelas, tapi mereka adalah calon-calon pendidik dan pemimpin-pemimpin masa depan. Dengan demikian, menggiring dan memuluskan jalan mereka menjadi hamba yang baik adalah menjadi salah satu tugas guru. Seperti yang telah diucapkan Hasan Al Banna "Jadilah hamba yang baik sebelum kamu menjadi pemimpin. Sebab penghambaan yang baik akan mengantarkan kamu menuju kepemimpinan yang baik"


Membumikan Doa
Guru mempunyai senjata laten yang tidak pernah disadari oleh murid-muridnya. Mungkin saja karena senjata laten gurunyalah para murid dapat melewati masa studinya dengan sukses. Doa. Itulah senjata laten seorang guru. Guru yang baik adalah guru yang tanpa diminta selalu menggemakan doa untuk keberhasilan muridnya, guru yang secara diam rela menghadirkan wajah murid-muridnya dalam setiap doanya, dan guru yang rela mengangkat tangannya agar terangkat pula derajat murid-muridnya dengan ilmu yang mereka miliki. Subhanallah... ALLAH berfirman dalam Surat Asy Syura ayat 26 yang berbunyi: "dan Dia memperkenankan (do'a) orang-orang yang beriman serta mnegrjakan amal yang saleh dan menambah (pahala) kepada mereka dari karuniaNya"


Sudahkah saya menemukan guru dengan karakteristik seperti itu? Sudahkah kamu menemukan guru dengan karakterisitik seperti itu? Apapun jawabannya, sedikit demi sedikit kita mesti mewujudkannya (terutama saya pribadi), karena setiap kita sesungguhnya adalah guru. Hasan Al Banna pun pernah berkata, "aktor peradaban itu ada 2, yaitu guru dan penulis". Kalau semua hal ini diresapi, rasanya tidak ada lagi aktor peradaban yang bantat dan kalimat yang keluar dari lisan seorang guru saat ditanya tentang ilmu yang dimilikinya berikut inipun bukan lagi sekedar imaji...

"Aku telah mempelajari setumpuk buku layang-layang, aku juga mengkliping artikel di koran dan majalah yang mengupas tentang layang-layang, aku pelajari, aku simpulkan, dan aku praktikkan, kemudian aku menyerahkan segala urusan kepada ALLAH, aku tawakal. Setiap aku akan membuat layang-layang, aku shalat istikharah, agar layang-layang yang aku buat ini atas petunjuk ALLAH, layang-layang itu bukan aku yang membuat, tetapi ALLAH-lah yang menjalankan tangan-tanganku, menggelontorkan ide di dalam otakku"

Sayapun rindu dengan pengejawantahan dari hadis riwayat Imam Bukhari berikut dan saya berharap itulah wajah-wajah guru saya: "Maukah kalian kukabarkan orang orang terbaik diantara kalian?, mereka adalah yg jika dipandang wajahnya membuat orang mengingat Allah"




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dilarang keras berkomentar yang mengandung unsur saru dan sarkas