.post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

Rabu, 02 Mei 2012

Kepada Siapa Mesti Berguru?

Untuk saat ini rasanya agak sulit menjawab pertanyaan tersebut. Apalagi ditambah berita-berita yang berseliweran akhir-akhir ini. Rasanya kita bagai sedang berdiri di tengah kumpulan sampah saja. Lalu pertanyaannya, sebagai apakah kita berdiri di sana. Sebagai sang pendaur ulang yang rela mengais dan menyisir sampah tersebut guna menjadikannya lebih bermakna atau malahan kita termasuk kawanan sampah itu juga?

Sekolah adalah wadah formal yang disediakan pemerintah untuk "memodifikasi" seseorang untuk menjadi lebih baik. Baik itu dari segi "otak", "hati", ataupun perilakunya. Namun nyatanya, tidak sedikit kita temui kasus-kasus yang membalik pernyataan itu semua. Googling saja kalau mau meyakinkan diri bahwa kebalikan itu benar-benar terjadi. Semua tergelar di sana. Mulai dari oknum guru yang melakukan pelecehan seksual kepada muridnya sampai dengan oknum murid yang berani menonjok wajah gurunya sendiri. Pusing juga sepertinya kalau ditanya siapa yang salah atau apa yang menyebabkan ini semua?

Yang menjadikan pusing menjawabnya adalah karena fenomena tersebut terjadi di bawah sebuah sistem. Dimana setiap komponennya saling terkait dan berpengaruh antara satu dengan lainnya. Salah di murid sebagai raw inputnya atau salah guru, kurikulum, materi, dsb sebagai instrumental inputnya. Sederhananya, salah yang diolah atau salah yang mengolah?

Kalau yang ditanya muridnya, maka ada kecenderungan untuk menjawab guru dan sebagainyalah yang salah. Kalau ditanya gurunya, maka ada 2 kecenderungan jawab. Salah muridnya dan salah komponen instrumental input lainnya. Dan akhirnya, memang perlu mengurai satu persatu agar benar-benar ditemukan episentrumnya. Semakin jelas episentrumnya, maka diharapkan akan semakin pas obatnya.


Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari
Apa yang dapat anda simpulkan dari idiom tersebut? Yup benar, murid akan lebih "kreatif" melakukan sesuatu dibandingkan guru yang mengajarkannya. Kalau untuk masalah kebaikan sih tidak masalah, tetapi apalah jadinya kalau hal tersebut terjadi untuk masalah kebalikannya.

Mari kita repih satu persatu dari kedua varian tersebut. 

Ingat Esemka? yup, mobil buatan murid salah satu SMK di Solo. Berita itu mengelu-elukan tentang hebatnya murid SMK yang mampu membuat sebuah mobil berjenis SUV. Adalagi A*Note, laptop rakitan murid SMK di Gresik. Sampai dengan sepeda fixie yang dibuat dari besi bekas oleh murid SMK di Tulung Agung Jawa Timur. Dan banyak lagi inovasi lainnya yang menjadikan murid sebagai aktor utamanya. Lalu dimana sang guru berdiri? 

Sekarang, coba lihat jejaring sosial yang ada. Sila baca status-statusnya. Apa komentar anda? Kalau anda berpendapat lebih banyak "nyampah"nya daripada baiknya, itu sah-sah saja. Apalagi hal ini diperkuat dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh Carnegie Melon University, Massachusetts Institute of Technology, dan Georgia Institute of Technology menyimpulkan bahwa ada 130 juta twit tidak layak untuk dibaca atau tidak penting direlease setiap harinya. Sekarang tinggal dipecah, apa saja yang dianggap tidak penting? Menurut Michael Bernstein twit-twit tersebut adalah berisi curhatan dan kegiatan sehari-hari. Itu baru satu jejaring sosial, bagaimana dengan jejaring-jejaring sosial lainnya. Dan bagaimana yang terjadi di dunia nyata.

Lalu apa hubungannya dengan subtema yang diangkat. Bila diantara 130 juta tersebut ada andil kita sebagai guru, tidak heran pula kalau murid-muridnya pun ikut patungan juga di 130 juta tersebut. Jika guru melow, tidak heran kalau murid galau. Jika guru tidak ontime, jangan salahkan kalau murid jadi offtime. Dan begitu seterusnya. Lalu sepakatkah bila dikatakan salah satu yang meruntuhkan dunia pendidikan adalah andil dari guru itu juga?


Guru Kencing Berdiri, Murid Kencingi Guru
"Jangan pernah memberikan semua ilmu yang kamu punya pada muridmu karena bisa saja mereka akan menikam balik kamu saat berada di posisi lebih dari kamu". Lalu apa jadinya dengan mereka yang secara ikhlas memberikan ilmu kepada muridnya? Akankah mereka tinggal menunggu ditikam saja?

Agar hal tersebut tidak terjadi, perlu kiranya menyempilkan value pada setiap detak kurikulum yang dihembuskan. Jadi tidak hanya sekedar transfer of knowledge, melainkan juga transfer of value. Dengan ini diharapkan, tidak ada lagi murid yang berani mencaci maki gurunya, menonjok gurunya, dan lain sebagainya. 


Akhirnya...
Sebenarnya kurang tepat bila diakhiri di sini karena banyak hal yang mesti tersampaikan. Banyak sudut pandang yang bisa dipakai untuk menyelesaikan. Namun, untuk saat ini, saya ingin hentikan di sini. Dan izinkan saya mengakhirinya dengan memberi sedikit catatan kecil sebagai pengiringnya. Semoga sedikit catatan kecil ini dapat menjadi bahan bakar untuk menemukan formula yang pas bagi semakin cerahnya dunia pendidikan.


Catatan Akhir...
Sejauh ini, pendidikan karakter banyak diarahkan kepada murid sebagai objeknya. Padahal mana bisa karakter murid terbentuk secara baik, bila gurunya tidak mencontohkan. Pendidikan karakter bukan sekedar memberi, tapi bagaimana menginspirasi. Trus, pertanyaan selanjutnya adalah karakter seperti apa yang ingin dibangun? Bila hal ini belum terjawab secara pas, jangan salahkan bila karakter yang terbentuk banyak variannya, mulai dari yang berkarakter baik sampai dengan yang tidak baik.

Guru bukan profesi batu loncatan. Yang hanya bermodalkan tahu tentang satu ilmu, lalu bisa mengajar. Tapi saat kita berpredikat sebagai guru, secara tidak langsung kita pun juga berpredikat sebagai pendidik. Menjadi pendidik adalah usaha untuk menjadikan penduduk yang terdidik. Terdidik otak, hati, dan perilakunya. Tapi yang lebih berat dari itu adalah bagaimana seorang pendidik mampu mendidik dirinya sendiri. Implikasinya, seorang pendidik harus mau lebih kuat mendidik dirinya sendiri dan mau belajar lebih kuat dari dan daripada muridnya. Karena bila kedua hal ini tidak dijalankan, tidak mustahil bila kita nantinya bagai mesin pengekstrak kurikulum saja.


Dan akhirnya, saya menulis ini bukan berarti sudah memenuhi kriteria sebagai pendidik. Justru saya menuliskan ini karena ada rasa khawatir dan resah dalam bentukan diri saya sendiri. Apakah saya sudah mampu mendidik diri saya sendiri? Masih dalam tataran baru sekedarkah saya? Doakan saya untuk menjadi yang semestinya... 


Selamat Mendidik Nasional....





sumber gambar: bloggradien.wordpress.com





3 komentar:

Dilarang keras berkomentar yang mengandung unsur saru dan sarkas