.post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

Sabtu, 26 April 2014

Pendidikan: Dunia Pelangi dan Dunia Kebermanfaatan

Pendidikan adalah dunia pelangi, dunia yang didalamnya hidup berbagai bidang keilmuan. Dimana setiap bidang keilmuan saling bergandengan, saling beririsan, dan bahkan saling “berseteru” guna menampilkan wajah keilmuan yang lebih mempesona kebermanfaatannya. Hal yang tersebut terakhir akan mudah tergelar ke permukaan bila ada ego keilmuan yang terselip di antara interaksinya. Ego yang muncul karena merasa bidang keilmuannya jauh lebih luas, jauh lebih dalam, dan merasa “jauh-jauh” lainnya. Namun apapun ceritanya, pelangi tetaplah pelangi.  Ia tetaplah indah dipandang, walaupun terbentuk dari warna yang tak serupa, meskipun sebelumnya harus terlahir dari sebuah pergulatan yang terkadang sampai memicu badai.
Selain keilmuan yang beraneka warna, sejatinya banyak hal yang menyokong kelangsungan hidup pendidikan, mulai dari tujuan, kompetensi pedagogik, sampai dengan perlu adanya reformasi agar pendidikan tidak berakhir sebagai memorabilia semata.

Tujuan Pendidikan
Seorang ahli hikmah pernah berkata “barang siapa tidak benar permulaan kehendaknya, niscaya tidak akan selamat pada kesudahan akibatnya”. Dari petikan kalimat ini sudah tergambar dengan gamblang, betapa awalan akan berpengaruh pada akhiran atau hasilnya. Begitupula dalam dunia pendidikan, juga menginginkan hasil yang terbaik dalam setiap prosesnya, dan hal tersebut diawali dengan dirancangnya tujuan pendidikan yang kemudian termaktub dalam UU Sisdiknas No. 23 tahun 2003 pasal 1 ayat 1 (yang bersumber dari Pembukaan UUD 1945). Undang-undang tersebut menyebutkan bahwa: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara”.
Begitu indahnya tujuan pendidikan tersebut bukan? Bagaimana sejatinya pendidikan di negeri ini dirancang untuk mengembangkan potensi peserta didik agar dapat mengaktualisasikan dirinya di dalam masyarakat, bangsa, dan negara. Sekarang coba kita sama-sama lihat secara de facto, apakah sama indahnya dengan de jure?
Aktualisasi diri adalah istilah yang dikenal dalam bidang pendidikan dan psikologi sebagai suatu keterwujudan perubahan dari potensi ke suatu sikap, sifat, dan perilaku nyata. Dalam rangka usaha mereparasi peserta didik, dua bidang keilmuan inipun saling bersinergi. Psikologi membidik atau melihat perilaku manusia sebagaimana adanya (karena psikologi merupakan ilmu empiris), sedangkan ilmu pendidikan (education) atau pedagogik mempelajari perilaku manusia sebagaimana seyogianya terwujud dan bersifat normatif. Dengan ilmu psikologi, seorang pendidik mengetahui apa yang “salah” dari peserta didiknya dan kemudian juga paham bagaimana membenarkannya dengan ilmu pendidikan yang dikuasainya.
Pendidikan membantu peserta didik dalam mengaktualisasikan dirinya, dalam artian “membantunya” menjadi seseorang yang sedapat mungkin sepenuhnya “human”, yaitu seseorang yang sehat mental dalam berbagai pemikiran dan tindakannya. Biasanya orang semacam itu juga seseorang yang berpotensi kreatif dan orang yang sangat peduli terhadap proses daripada klimaks keberhasilan dan kebanggaan terhadap sukses tersebut. Jadi pendidikan pada dasarnya semakin mengarahkan peserta didiknya kepada hal-hal yang intrinsik (peak experience), bukan kepada pragmatisme yang bertolak dari filsafat “the truth is in the making”, yang artinya kebenaran berkenaan dengan hal-hal yang bermanfaat bagi manusia.
Selain untuk aktualisasi diri, pendidikan juga ingin “mendandani” peserta didik dari segi nilai (intrinsik). Belajar bagaimana yang indah dan jelek, baik dan jahat, belajar apa yang seharusnya menjadi pilihan hidup. Jadi pada dasarnya, pendidikan diposisikan untuk mendandani peserta didik agar dapat bertumbuh, baik dari segi intelektual, emosial, dan terlebih lagi spiritualnya.

Kompetensi Pedagogik
“Man behind the gun” pepatah ini sudah sering dilantunkan (sepertinya) kala sedang membahas tentang keberhasilan sebuah formula. Intinya, sebagus apapun hardware dan software yang ada, bila kapasitas brainwarenya tidak mendukung, maka sangat sulit rasanya untuk menghasilkan bidikan yang sesuai dengan target atau tujuan.
Pendidik sebagai salah satu instrumental input sudah selayaknya memiliki kapasitas yang mumpuni agar dapat mengolah raw input (peserta didik) menjadi keluaran yang unggul. Karenanya undang-undang no. 14 tahun 2005 tentang kompetensi guru dan dosen mengisyaratkan bagaimana seharusnya bentukan dari seorang pendidik. Di sana dikatakan   bahwa seorang pendidik harus mempunyai empat kompetensi, yaitu: kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Sosok yang bisa memahami peserta didiknya, bisa menjadi model bagi peserta didiknya, mampu berinteraksi dan berkomunikasi secara baik, serta menguasai dan mengaplikasikan keilmuan yang dimilikinya. Subhanallah... sebuah sosok yang sangat indah untuk dibayangkan dan sosok tersebut akan menjadi lebih indah perwujudannya jika darinya terbias pula hal sebagai berikut: “Maukah kalian kukabarkan orang-orang terbaik di antara kalian? Mereka adalah yang jika dipandang wajahnya membuat orang mengingat ALLAH” (HR. Imam Bukhori).

Reformasi Pendidikan
Salah satu cara yang membuat kita bisa bertahan hidup di suatu lingkungan yang terus berubah adalah dengan melakukan adaptasi. Hal ini tergerak oleh dua dorongan esensial, yaitu dorongan untuk mempertahankan diri (the drive to survive) pada satu pihak, dan dorongan untuk mengembangkan diri (the drive to grow), yang masing-masing memiliki kecenderungan untuk mempertahankan diri (a self sustaining trend) sebagai suatu eksistensi psikologi sosial dan kecenderungan untuk mengupayakan/mengembangkan diri (a self generating trend) sebagai suatu eksistensi psikologis individual.
Tidak terkecuali dengan dunia pendidikan. Di tengah arus datar yang mengglobal ini, pendidikan secara tidak langsung juga dituntut untuk dapat mereformasi dirinya. Reformasi dalam dunia pendidikan ini terlukis pada paradigma baru dalam UU Sisdiknas yang harus mengacu pada pendidikan multikultural, yaitu adanya kebudayaan beragam dalam satu masyarakat yang tetap merupakan satu kesatuan. Namun, setiap kebutuhan pembelajaran individu berbeda dalam arti realitas sosio historis, sosio ekonomis, suku bangsa, sosio psikologis. Artinya, makin lama akan makin memungkinkan dimunculkannya keberagaman dalam konteks sistem persekolahan. Paradigma multikultural ini harus berkembang seiring dengan hak dan keunikan peserta didik yang belajar bersama dengan yang lain, dalam suasana saling menghormati, toleransi, dan berpengertian terhadap masing-masing kepentingan. Yang akhir dari ini diharapkan nantinya terbentuk basic competences dan advanced competences, atau kompetensi dasar dan kompetensi unggul dalam satu kesatuan standard nasional dengan caranya masing-masing.

Dunia Kebermanfaatan
Dari semua point yang telah digelar sebelumnya, secara implisit ingin mengabarkan bahwa pada dasarnya ilmu itu hadir untuk membuat suatu hal menjadi jauh lebih baik. Dan kebaikan yang sudah terbesut dari sentuhan ilmu itupun mesti dipagari dengan sebuah kebenaran hakiki. Kebenaran ilmu yang dapat mengantarkan individu untuk semakin dekat kepada penciptaNya. Selain itu, dunia pendidikanpun (secara tidak langsung) telah mengajarkan kita untuk tidak bosan saling berbagi dan tidak lelah untuk berlomba-lomba dalam kebaikan.

Konklusi
Terakhir, dapat dikonklusikan bahwa ilmu pendidikan merupakan wadah yang didiami oleh berbagai macam perspektif, diantaranya adalah perspektif psikologi pendidikan. Dimana seorang individu dilihat dari apa adanya dia dan selanjutnya dibentuk dengan sebagai mana mestinya. Bentukan dari proses yang dilaksanakan itupun tidak terlepas dari tujuan pendidikan yang telah dicanangkan, kompetensi pendidik yang menginstrumentasi peserta didik, dan juga institusi pendidikan yang selalu siap mereformasi dirinya sesuai dengan kebutuhan jaman. Muara dari proses ini adalah terwujudnya individu yang tidak hanya cerdas secara individu, tetapi juga cerdas secara sosial, dan pastinya individu yang juga sadar akan kedudukannya sebagai hambaNya.




[*] Resume (plus modifikasi) dari makalah Conny R. Semiawan “Kajian Ilmu Pendidikan Ditinjau dari Perspektif Psikologi Pendidikan” yang disampaikan dalam kegiatan Program Alih Kepakaran “Conny Semiawan’s Lecture on Education” pada tanggal 16 April 2010 (seri 1)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dilarang keras berkomentar yang mengandung unsur saru dan sarkas