Pendidikan
adalah dunia pelangi, dunia yang didalamnya hidup berbagai bidang keilmuan.
Dimana setiap bidang keilmuan saling bergandengan, saling beririsan, dan bahkan
saling “berseteru” guna menampilkan wajah keilmuan yang lebih mempesona
kebermanfaatannya. Hal yang tersebut terakhir akan mudah tergelar ke permukaan
bila ada ego keilmuan yang terselip di antara interaksinya. Ego yang muncul
karena merasa bidang keilmuannya jauh lebih luas, jauh lebih dalam, dan merasa
“jauh-jauh” lainnya. Namun apapun ceritanya, pelangi tetaplah pelangi. Ia tetaplah indah dipandang, walaupun
terbentuk dari warna yang tak serupa, meskipun sebelumnya harus terlahir dari
sebuah pergulatan yang terkadang sampai memicu badai.
Selain keilmuan
yang beraneka warna, sejatinya banyak hal yang menyokong kelangsungan hidup
pendidikan, mulai dari tujuan, kompetensi pedagogik, sampai dengan perlu adanya
reformasi agar pendidikan tidak berakhir sebagai memorabilia semata.
Tujuan Pendidikan
Seorang ahli
hikmah pernah berkata “barang siapa tidak benar permulaan kehendaknya, niscaya
tidak akan selamat pada kesudahan akibatnya”. Dari petikan kalimat ini sudah
tergambar dengan gamblang, betapa awalan akan berpengaruh pada akhiran atau
hasilnya. Begitupula dalam dunia pendidikan, juga menginginkan hasil yang
terbaik dalam setiap prosesnya, dan hal tersebut diawali dengan dirancangnya
tujuan pendidikan yang kemudian termaktub dalam UU Sisdiknas No. 23 tahun 2003
pasal 1 ayat 1 (yang bersumber dari Pembukaan UUD 1945). Undang-undang tersebut
menyebutkan bahwa: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara”.
Begitu indahnya
tujuan pendidikan tersebut bukan? Bagaimana sejatinya pendidikan di negeri ini
dirancang untuk mengembangkan potensi peserta didik agar dapat
mengaktualisasikan dirinya di dalam masyarakat, bangsa, dan negara. Sekarang
coba kita sama-sama lihat secara de facto,
apakah sama indahnya dengan de jure?
Aktualisasi diri
adalah istilah yang dikenal dalam bidang pendidikan dan psikologi sebagai suatu
keterwujudan perubahan dari potensi ke suatu sikap, sifat, dan perilaku nyata.
Dalam rangka usaha mereparasi peserta didik, dua bidang keilmuan inipun saling
bersinergi. Psikologi membidik atau melihat perilaku manusia sebagaimana adanya
(karena psikologi merupakan ilmu empiris), sedangkan ilmu pendidikan (education) atau pedagogik mempelajari
perilaku manusia sebagaimana seyogianya terwujud dan bersifat normatif. Dengan
ilmu psikologi, seorang pendidik mengetahui apa yang “salah” dari peserta
didiknya dan kemudian juga paham bagaimana membenarkannya dengan ilmu
pendidikan yang dikuasainya.
Pendidikan
membantu peserta didik dalam mengaktualisasikan dirinya, dalam artian “membantunya”
menjadi seseorang yang sedapat mungkin sepenuhnya “human”, yaitu seseorang yang sehat mental dalam berbagai pemikiran
dan tindakannya. Biasanya orang semacam itu juga seseorang yang berpotensi
kreatif dan orang yang sangat peduli terhadap proses daripada klimaks
keberhasilan dan kebanggaan terhadap sukses tersebut. Jadi pendidikan pada
dasarnya semakin mengarahkan peserta didiknya kepada hal-hal yang intrinsik (peak experience), bukan kepada
pragmatisme yang bertolak dari filsafat “the
truth is in the making”, yang artinya kebenaran berkenaan dengan hal-hal
yang bermanfaat bagi manusia.
Selain untuk
aktualisasi diri, pendidikan juga ingin “mendandani” peserta didik dari segi nilai
(intrinsik). Belajar bagaimana yang indah dan jelek, baik dan jahat, belajar
apa yang seharusnya menjadi pilihan hidup. Jadi pada dasarnya, pendidikan
diposisikan untuk mendandani peserta didik agar dapat bertumbuh, baik dari segi
intelektual, emosial, dan terlebih lagi spiritualnya.
Kompetensi Pedagogik
“Man behind the gun” pepatah ini sudah
sering dilantunkan (sepertinya) kala sedang membahas tentang
keberhasilan sebuah formula. Intinya, sebagus apapun hardware dan software
yang ada, bila kapasitas brainwarenya
tidak mendukung, maka sangat sulit rasanya untuk menghasilkan bidikan yang
sesuai dengan target atau tujuan.
Pendidik sebagai
salah satu instrumental input sudah
selayaknya memiliki kapasitas yang mumpuni agar dapat mengolah raw input (peserta didik) menjadi keluaran
yang unggul. Karenanya undang-undang no. 14 tahun 2005 tentang kompetensi guru
dan dosen mengisyaratkan bagaimana seharusnya bentukan dari seorang pendidik. Di
sana dikatakan bahwa seorang pendidik
harus mempunyai empat kompetensi, yaitu: kompetensi pedagogik, kepribadian,
sosial, dan profesional. Sosok yang bisa memahami peserta didiknya, bisa
menjadi model bagi peserta didiknya, mampu berinteraksi dan berkomunikasi
secara baik, serta menguasai dan mengaplikasikan keilmuan yang dimilikinya. Subhanallah... sebuah sosok yang sangat
indah untuk dibayangkan dan sosok tersebut akan menjadi lebih indah
perwujudannya jika darinya terbias pula hal sebagai berikut: “Maukah kalian
kukabarkan orang-orang terbaik di antara kalian? Mereka adalah yang jika
dipandang wajahnya membuat orang mengingat ALLAH” (HR. Imam Bukhori).
Reformasi Pendidikan
Salah satu cara
yang membuat kita bisa bertahan hidup di suatu lingkungan yang terus berubah
adalah dengan melakukan adaptasi. Hal ini tergerak oleh dua dorongan esensial,
yaitu dorongan untuk mempertahankan diri (the
drive to survive) pada satu pihak, dan dorongan untuk mengembangkan diri (the drive to grow), yang masing-masing
memiliki kecenderungan untuk mempertahankan diri (a self sustaining trend) sebagai suatu eksistensi psikologi sosial
dan kecenderungan untuk mengupayakan/mengembangkan diri (a self generating trend) sebagai suatu eksistensi psikologis
individual.
Tidak terkecuali
dengan dunia pendidikan. Di tengah arus datar yang mengglobal ini, pendidikan
secara tidak langsung juga dituntut untuk dapat mereformasi dirinya. Reformasi
dalam dunia pendidikan ini terlukis pada paradigma baru dalam UU Sisdiknas yang
harus mengacu pada pendidikan multikultural, yaitu adanya kebudayaan beragam
dalam satu masyarakat yang tetap merupakan satu kesatuan. Namun, setiap kebutuhan
pembelajaran individu berbeda dalam arti realitas sosio historis, sosio
ekonomis, suku bangsa, sosio psikologis. Artinya, makin lama akan makin
memungkinkan dimunculkannya keberagaman dalam konteks sistem persekolahan.
Paradigma multikultural ini harus berkembang seiring dengan hak dan keunikan
peserta didik yang belajar bersama dengan yang lain, dalam suasana saling
menghormati, toleransi, dan berpengertian terhadap masing-masing kepentingan.
Yang akhir dari ini diharapkan nantinya terbentuk basic competences dan advanced
competences, atau kompetensi dasar dan kompetensi unggul dalam satu
kesatuan standard nasional dengan caranya masing-masing.
Dunia Kebermanfaatan
Dari semua point yang telah digelar sebelumnya, secara implisit ingin mengabarkan
bahwa pada dasarnya ilmu itu hadir untuk membuat suatu hal menjadi jauh lebih baik.
Dan kebaikan yang sudah terbesut dari sentuhan ilmu itupun mesti dipagari
dengan sebuah kebenaran hakiki. Kebenaran ilmu yang dapat mengantarkan individu
untuk semakin dekat kepada penciptaNya. Selain itu, dunia pendidikanpun (secara
tidak langsung) telah mengajarkan kita untuk tidak bosan saling berbagi dan tidak
lelah untuk berlomba-lomba dalam kebaikan.
Konklusi
Terakhir, dapat dikonklusikan bahwa
ilmu pendidikan merupakan wadah yang didiami oleh berbagai macam perspektif,
diantaranya adalah perspektif psikologi pendidikan. Dimana seorang individu
dilihat dari apa adanya dia dan selanjutnya dibentuk dengan sebagai mana
mestinya. Bentukan dari proses yang dilaksanakan itupun tidak terlepas dari
tujuan pendidikan yang telah dicanangkan, kompetensi pendidik yang
menginstrumentasi peserta didik, dan juga institusi pendidikan yang selalu siap
mereformasi dirinya sesuai dengan kebutuhan jaman. Muara dari proses ini adalah
terwujudnya individu yang tidak hanya cerdas secara individu, tetapi juga
cerdas secara sosial, dan pastinya individu yang juga sadar akan kedudukannya
sebagai hambaNya.
[*]
Resume (plus modifikasi) dari makalah Conny R.
Semiawan “Kajian Ilmu Pendidikan Ditinjau dari Perspektif Psikologi Pendidikan”
yang disampaikan dalam kegiatan Program Alih Kepakaran “Conny Semiawan’s
Lecture on Education” pada tanggal 16 April 2010 (seri 1)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dilarang keras berkomentar yang mengandung unsur saru dan sarkas