.post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

Kamis, 26 Juni 2008

Anarkisme Mengeroposi Kedewasaan Bangsa

Yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah akal yang dimilikinya. Tanpa adanya akal, keberadaan otak manusia tidak ubahnya dengan otak yang dimiliki hewan. Karenanya dalam dunia filsafat sering berkumandang kalimat "berpikir adalah cara bagaimana manusia memanusiakan manusia". Ada 3 (tiga) hal menurut saya, yang bisa ditarik dari ujaran tersebut :
  1. berpikir merupakan instrumen mutlak yang harus dimiliki agar suatu hal dapat divalidasi sebagai manusia
  2. berpikir merupakan langkah strategis agar manusia dapat menunjukkan eksistensi dan mengaktualisasikan dirinya di muka bumi ini, dan
  3. dengan berpikir manusia dapat memandang, menilai, dan memposisikan manusia lainnya secara adil.
Kalau ketiga hal yang tersebut di atas ingin diadopsi sebagai Standard Operating Procedure (SOP) sebagai salah satu parameter aktivitas berpikir pribadi sah-sah saja. Mengapa sah-sah saja, karena proses berpikir tidak ada batasannya. Jadi, tidak mungkin rasanya untuk menggeneralisasikan standarnya. Sehingga tidak salah juga rasanya jika proses berpikir dianalogikan bagai bola liar yang bisa dengan bebas dan semaunya menggelinding. Hanya satu hal yang bisa mengatur keliaran bola tersebut, yaitu orang yang melakukan proses berpikir itu sendiri. Proses berpikir baru bisa diatur oleh orang lain, bila sudah termanifestasikan menjadi suatu sikap ataupun perilaku.

Kondisi di atas adalah gambaran saat seseorang berpikir dalam keadaan nyaman dan tidak dalam tekanan. Tapi coba bayangkan akan seperti apa gila dan liarnya bola yang menggelinding, bila seseorang berada dalam tekanan. Dua probabilitas yang mungkin terjadi, yaitu kalau tidak berhenti sama sekali, bola itu akan terus menggelinding tanpa arah sampai menjatuhkan apapun yang dihampirinya. Apalagi ditambah orang tersebut tidak memiliki pegangan agama yang kuat.

Probabilitas terakhir inilah yang mulai menampakkan batang hidungnya di Indonesia. Euforia atas ketertahanan proses aktualisasi berpikirlah yang dijadikan tameng seseorang bebas menggelindingkan manifest berpikirnya. Segala hal, disikapi secara berlebihan. Sehingga terkesan manifest yang keluar merupakan hasil olah pikir yang sembrono, think fast tak berdasar, dan aktualisasi yang acak-acakan.

Bila ketiga hal tersebut dijadikan bahan bakar dalam menggelontorkan ide, alih-alih niatnya mau menyelesaikan masalah, malah bisa menjadi sebaliknya, yaitu menimbulkan permasalahan baru. Masalah yang menimbulkan ekses kerumitan dan keruwetan yang panjang, baik secara personal maupun komunal.

Mungkin kalau eksesnya berhenti pada personal tidak terlalu menjadi persoalan, tapi apakah personal tersebut membayangkan bahwa yang dia rasakan bisa saja merambat sampai ke komunal. Apakah personal tersebut bersedia untuk bertanggung jawab ?

Konkritnya, belakangan ini makin banyak saja orang yang ingin menyuarakan apa yang ingin disuarakan dengan motif yang berbeda-beda. Mulai dari yang hanya sekedar untuk menyuarakan "bahwa saya ada" sampai dengan yang ingin menyuarakan bahwa "saya ada di sini agar semuanya lepas dari ketiadaan".

Kedua motif tersebutpun bercabang kembali menjadi dua, yaitu motif yang positif dan negatif. Namun, disini saya lebih tertarik untuk menjabarkan dari sudut negatifnya saja.

Bermunculannya komunitas atau genk-genk dan perilaku senioritas, merupakan salah dua dari bentuk motif  "bahwa saya ada". Tujuan awalnya mungkin baik, yaitu ingin turut berperan serta dalam meregistrasi diri di muka bumi ini, tapi finishing touch yang ditempelkan saja yang salah kaprah. Penindasan, kekerasan, dan kebrutalan dipilih sebagai jalan pintas untuk bisa menancapkan bendera eksistensial. Akhirnya tidak heran muncul kasus seperti Genk motor dan kekerasan di STIP (Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran). Bila begini apa bedanya kota dengan hutan (hukum yang kuat dialah yang berjaya) ???

"Saya ada di sini agar semuanya terlepas dari ketiadaan" sebuah kalimat yang bernuansa Robinhood ataupun Pitung. Namun, [lagi-lagi] sayang aroma heroisme yang ada jadi memudar karena mendapat sentuhan yang kurang cantik.

Memang tidak dapat dipungkiri memperjuangkan kebaikan, bagai meretas jalan yang penuh semak belukar yang berduri. Jadi tidak heran akan banyak keringat, tenaga, air mata, bahkan darah yang tertumpah sebagai bentuk hasil dari berbenturannya antara idealisme positif dengan realitas negatif.

Chaos mungkin suatu hal yang tidak bisa dihindari dalam sebuah pergolakan, tapi bukan berarti pula dia harus dihadiri [apalagi secara terencana]. Karena chaos yang dihadiri, hanya akan memburamkan sebuah perjuangan dan secara tidak sengaja malah akan menambah beban orang-orang yang sejatinya tengah kita perjuangkan hak-haknya.

Demo dalam rangka kenaikan BBM merupakan demo yang hingga detik ini masih dilayangkan. Sah-sah saja demo dijalankan, karena demo merupakan alarm akan adanya ketidakberesan suatu kondisi dan demo merupakan langkah akhir dalam menyuarakan sebuah kebenaran. Namun begitu, bukan berarti demo dijadikan cuci gudang atas emosi yang ada di dalam diri, sehingga legal saja bila nantinya muncul [atau malah sengaja dimunculkan] bibit-bibit anarkisme. Bisakah dikatakan pahlawan, jika niat yang ada dikotori oleh tangan-tangan kotor berbalut debu-debu keanarkian ? Sudikah kiranya seseorang dibantu dengan tangan kiri yang kotor, bila tangan kanan yang bersih juga menjulurkan bantuan yang serupa ??

Sikap anarkisme menurut saya adalah salah satu wujud ketidakdewasaan dalam menyikapi sebuah permasalahan. Bila dianalogikan, bagai seorang anak kecil yang akan mengamuk dan menghancurkan barang yang ada bila keinginannya tidak dipenuhi. Jika makin banyak orang yang terseret dalam sikap anarkisme seperti ini, maka tidak mustahil bangsa Indonesia akan menderita penyakit pengeroposan kedewasaan prematur, karena organnya telah terselimuti perilaku barbar yang sistemik dan kronis.

Terakhir, bermain cantik atau anarkis adalah sebuah pilihan bukan dipilihkan...


9 komentar:

  1. Mba tulisan nya bisa dikirim ke media2 surat kabar/majalah, insyaAllah mengguggah loh..

    Semoga bangsa kita senantiasa mendahulukan hati, kata Aa Gym sesuatu yg berasal dari hati akan jatuh ke hati..
    ^^

    BalasHapus
  2. makasih dek buat nasihatnya... ^_^

    Amiinn....

    BalasHapus
  3. hm...iya..anarkisme benar2 bikin Indonesia makin amburadul..dan sedihnya kita tinggal di tanah yang sama dan kita cuma bisa geleng-geleng kepala...hm..tapi menurut saya kalo demo2 BBM itu masih masuk di akal tapi...
    saya suka jengkel ma GENG2 anak SMA gitu...yang jambak-jambakan cuman karena gak mau kalah modis...aduh gak jelas banget alasannya...generasi bangsa kita...makin gak jelas aja nasibnya!!!

    BalasHapus
  4. tapi kalo tujuannya baik kenapa demonya tidak dirancang secara baik... biar hasilnya lbh bermanfaat ;D

    iya... berantemnya gak keren... kayak kucing gitu guling2an doang... trus udah gak keren di tonton lagi...

    *kalo berantemnya bisa terbang kayak di kungfu hustle tuh bru keren... hihihi... ciattt

    BalasHapus
  5. Kebayang anak2 praja di sebuah institute (biipp..Sensor mksudnya ^^) pada sibuk latihan ala kungfu hustle, nice idea mba.. Tp gmn klw berantem nya ala tom and Jerry biar dipukul pake besi atau jatuh dari lantai 12 ga kenapa2 (korbankartun.com). ^^

    yah smg negeri kita msh mendapat rahmat dan kasih sayangNya, agar semuanya aman2 aja..

    BalasHapus
  6. Kebayang anak2 praja di sebuah institute (biipp..Sensor mksudnya ^^) pada sibuk latihan ala kungfu hustle, nice idea mba, bisa dimasukin kurikulum ga ya ^^v
    Tp gmn klw berantem nya ala tom and Jerry biar dipukul pake besi atau jatuh dari lantai 12 ga kenapa2 (korbankartun.com). ^^

    yah smg negeri kita msh mendapat rahmat dan kasih sayangNya, agar semuanya aman2 aja..

    BalasHapus
  7. bisa aja... plus ntar ditambahin kungfu panda sgala biar lucu pisan... hihihi

    kalo kaya tom n jerry.... mmmm.... gak seru ah.... kurang heroik... kurang nggigit... kurang nonjok... kurang nampar.... kurang.... ;D

    BalasHapus

Dilarang keras berkomentar yang mengandung unsur saru dan sarkas